Pages

Minggu, 09 Januari 2011

Penentuan Ahli Waris


Oleh: Hidayatulloh

A. Pandahuluan
Dalam kehidupan di dunia ini manusia membutuhkan harta. Baik digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga, saudara, bahkan untuk orang lain yang ada di sekitarnya. Manusia memang cenderung mencintai harta. Secara kodrati harta dapat digunakan pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan bahkan kepuasan pribadi. Maka sangat tidak aneh bila manusia saling berlomba-lomba untuk mendapatkanya.
Islam tidak melarang manusia untuk mencari harta di dunia. Bahkan terdapat beberapa ayat al-Quran yang menganjurkan manusia untuk mendapatnya. Namun Islam mengatur agar manusia dalam mencari itu menggunakan cara-cara yang hak, tanpa merugikan orang lain. Maka dalam fikih akan kita temukan aturan tentang jual beli, utang piutang, waris, hibah, wakaf, wasiat, dan sebagainya. Sehingga bila terjadi konflik di antara manusia dikarenakan adanya pihak-pihak yang tidak konsisten dengan aturan-aturan yang ada dapat teratasi dengan baik.
Salah satu perkara harta yang sering menimbulkan sengketa adalah perkara harta warisan. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia biasanya menimbulkan pertikaian antara ahli waris. Hal ini memang sering terjadi. Apalagi pengetahuan masyarakat akan ilmu waris atau yang disebut ilmu faraid sangat kurang. Oleh karena itu dibutuhkan pihak ketiga sebagai mediator yang berperan agar semua hak ahli waris dapat terpenuhi sesuai dengan ilmu tersebut. Mediator bisa saja seorang ulama, tokoh masyarakat, atau orang yang dipercaya oleh ahli waris untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Bila mediator gagal menyelesaikan sengketa, maka para ahli waris akan meminta Pengadilan Agama untuk memberikan putusan yang bersifat mengikat dan memaksa. Biasanya salah satu ahli waris mengajukan gugatan atau bahkan bisa saja beberapa pihak secara bersamaan dalam kasus yang sama. Sengketa akan semakin rumit bilamana pihak-pihak yang berperkara sama-sama merasa yang paling berhak sehingga tidak cukup sampai di tingkat pertama. Perkara terus berlanjut hingga tingkat kasasi dan banding. Sehingga perkara tersebut menjadi lama dan berlarut-larut untuk diselesaikan.
Berikut ini adalah analisa yang penulis lakukan terhadap perkara waris yang terjadi di Pengadilan Agama Mataram. Perkara ini sangat menarik karena begitu rumit dan panjang hingga kasasi di Mahkamah Agung.

B. Duduk Perkara
1. Tingkat Pertama
Bahwa di dusun Malimbu Desa Pemenang Barat Kecamatan Tanjung pernah hidup 2 (dua) orang laki-laki bersaudara kandung yang masing-masing bernama Amaq Itrawan dan Amaq Nawiyah. Amaq Itrawan meninggal dunia pada tahun 1930 dengan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
1. Inaq Itrawan (isteri) telah meninggal dunia pada tahun 1960.
2. Amaq Askiah bin Amaq Itrawan (anak laki-laki) telah meninggal dunia pada tahun 1940.
3. Inaq Kadariah binti Amaq Itrawan telah meninggal dunia pada tahun 1992 dengan meninggalkan ahli waris yaitu:
a. Muslim.
b. Ma’arif.
4. Amaq Mu’minah bin Amaq Itrawan (anak perempuan) telah meninggal dunia pada tahun 1950 dengan meninggalkan ahli waris yaitu:
a. Muhammad Husni bin Amaq Mu’minah.
b. Nursaid bin Amaq Mu’minah (Penggugat Asli).
c. Le Rachmah binti Amaq Mu’minah.
5. Inaq Sani binti Itrawan telah meninggal dunia pada tahun 1955 dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki bernama Fuad.
6. Inaq Mas’ud binti Amaq Itrawan.
7. Amaq Husniah bin Amaq Itrawan yang telah meninggal dunia pada tahun 1965 dengan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan bernama Sariah.
8. Loq Dariah bin Amaq Itrawan yang telah meninggal dunia pada tahun 1947.
Bahwa Amaq Nawiyah telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan bernama Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah disamping meninggalkan ahli waris juga meninggalkan warisan berupa 2 (dua) bidang tanah kebun seluas 6 Ha. Ketika Amaq Nawiyah meninggal dunia tanah tersebut belum dibagi waris tetapi langsung dikuasai oleh Amaq Itrawan, karena waktu itu anak almarhum Amaq Nawiyah yaitu Le Putrahimah masih kecil.
Selanjutnya setelah Amaq Itrawan meninggal dunia tanah seluas 6 Ha tersebut dikuasai oleh isteri dan anak-anak Amaq Itrawan. Kemudian setelah isteri dan anak-anak Amaq Itrawan meninggal dunia tanah kebun tersebut diambil alih dan dikuasai oleh Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah, anak perempuan Amaq Nawiyah.
Keturunan dari Amaq Itrawan menggugat Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah ke Pengadilan Agama Mataram. Selain Le Putrahimah, tergugat adalah Le Atiah binti Said, Loq Muhammad alias H. Muh Baihaqi bin Amaq Muhammad dan Musarjin bin Amaq Muhammad. Para penggugat adalah Nursaid bin Amaq Mu’minah, Muslim bin Inaq Kadariah, Ma’rif bin Inaq Kadariah, dan Inaq Mas’ud binti Amaq Itrawan.
Menurut para penggugat, Amaq Nawiyah meninggal tanpa meninggalkan keturunan anak laki-laki, maka mereka merasa berhak atas sebagian tanah kebun seluas 6 Ha tersebut. Untuk menjamin agar tanah tersebut tidak dialihkan ke pihak ketiga, maka para penggugat mohon diletakkan sita jaminan atas tanah tersebut.
Majelis hakim Pengadilan Agama Mataram dalam amar putusannya No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr tanggal 5 November 1992 menolak gugatan para penggugat. Dalam konvensi disebutkan bahwa sebelum mempertimbangkan hal-hal yang didalihkan oleh para Penggugat maka untuk mengetahui ada tidaknya suatu kepentingan hukum, Majelis berpendapat bahwa perihal pertama yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu dalam perkara ini adalah mengenai objek gugatan. Berdasarkan peninjauan lokasi ternyata Penggugat tidak dapat membuktikan tentang luas objek sengketa yang disanggah oleh Tergugat dan ternyata Tergugat telah memberikan bukti-bukti pipil garuda sehingga patut diduga telah terjadi suatu proses sedemikian rupa sesuai hukum sehingga objek sengketa telah sah menjadi milik Tergugat. Oleh karena itu hal-hal lain yang didalihkan tidak dapat diterima karena tidak ada kepentingan hukumnya.

2. Tingkat Banding
Penggugat tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama Mataram. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Dalam putusannya, Majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram dan mengabulkan gugatan penggugat asal.
Dalam putusan banding, disebutkan bahwa meskipun tanah-tanah kebun sengketa berasal dari milik Amaq Nawiyah tersebut telah dibalik namakan kepada Le Putrahimah alias Hj. Hikmah dan telah memperoleh Pipil Garuda atas namanya sendiri (Le Putrahimah) namun pada waktu meninggalnya Amaq Nawiyah, kedua pihak mengakui masih jadi milik almarhum, karena tanah-tanah sengketa adalah harta peninggalan almarhum yang diwariskan kepada ahli warisnya.
Bahwa dari hasil pemeriksaan dalam sidang Pengadilan Agama Mataram terbukti bahwa tanah-tanah kebun sengketa merupakan tanah Syarikat yang belum dibagi waris, antara Le Putahimah alias Hj. Hikmah dan Amaq Itrawan.
Majelis tingkat banding menetapkan Amaq telah meninggal dunia dengan meninggalkan 2 (dua) ahli waris yaitu:
1. Hikmah alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah (Terggugat I).
2. Amaq Itrawan (saudara laki-laki).
Menetapkan tanah kebun Pipil No. 2534/7002, Persil No. 375 kelas III Luas 3.260 Ha dan tanah kebun Pipil No. 2532/2002, Persil No. 375 kelas III luas 3440 Ha terletak di Dusun Malimbu Desa Pemenang Barat, Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat adalah harta peninggalan Amaq Nawiyah yang belum dibagi waris. Selanjutnya menetapkan bagian masing-masing ahli sebagai berikut:
1. Hikmah alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah (anak perempuan/Tergugat I) mendapat 1/2 bagian dari kedua tanah kebun di atas.
2. Amaq Itrawan (Saudara laki-laki) mendapat 1/2 bagian dari kedua kebun di atas.
Amaq Itrawan ditetapkan meninggal tahun 1930 dengan meninggalkan ahli waris yaitu seorang isteri (Inaq Itwaran), 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 4 (empat) orang anak perempuan. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Amaq Itrawan sebagai berikut:
1. Inaq Itrawan mendapat 1/8 bagian.
2. Anak-anak mendapat ashabah 7/8 dengan ketentuan bagian anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
Berikut rincian penetapan Majelis terhadap keturunan Amaq Nawiyah:
1. Menetapkan Amaq Askiyah telah meninggal dunia pada tahun 1940 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan), 3 (tiga) orang saudara laki-laki dan 3 (tiga) saudara perempuan.
2. Menetapkan Loq Dariah bin Amaq telah meninggal dunia pada tahun 1947 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan), 2 (dua) orang saudara laki-laki dan 3 (tiga) orang saudara perempuan.
3. Menetapkan Amaq Mu’minah telah meninggal dunia pada tahun 1950 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan), 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
4. Menetapkan Inaq Sani telah meninggal dunia pada 1955 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan) dan seorang anak laki-laki.
5. Menetapkan Inaq Itrawan telah meninggal dunia pada tahun 1960 dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan.
6. Menetapkan Amaq Husniyah telah meninggal dunia pada tahun 1965 dengan meninggalkan ahli waris 3 (tiga) orang anak perempuan.
7. Menetapkan Inaq Kadariyah telah meninggal dunia pada tahun 1992 dengan mmeninggalkan ahli waris 2 (dua) orang anak perempuan.
8. Menurunkan bagian masing-masing ahli waris berdasarkan bagian orang tuanya.

3. Tingkat Kasasi
Setelah menerima putusan banding dari Pengadilan Tinggi Agama Mataram, tergugat asal mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mereka merasa tidak puas dengan putusan pada tingkat banding.
Alasan-alasan diajukan kasasi oleh tergugat asal adalah sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah keliru dalam memberikan pertimbangan, meskipun tanah-tanah kebun sengketa tersebut telah dibalik namakan kepada Le Putahimah dan telah memperoleh Pipil Garuda namun karena pada waktu meninggalnya Amaq Nawiyah masih menjadi miliknya, maka tanah sengeketa tersebut adalah merupakan peninggalan Amaq Nawiyah yang diwariskan kepada ahli warisnya adalah pertimbangan yang kabur, karena bertentangan dengan bukti-bukti bahwa kenyataannya objek sengketa telah terdaftar sebagai tanah milik Le Putrahimah sejak tahun 1957 tanpa dapat dibuktikan bahwa pendaftaran pemilikannya tersebut adalah cacat hukum.
2. Pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa tanah kebun sengketa masih merupakan tanah syarikat antara ahli waris adalah merupakan kenyataan yang tidak didukung bukti-bukti yang kuat hingga tidak sesuai Pasal 62 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tegas menyatakan bahwa tanggal penetapan dan putusan pengadilan selain harus membuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah salah dalam menerapkan hukum karena telah mendudukan Amaq Itrawan yang meninggal dunia pada tahun 1930 sebagai ashabah yang mana adanya Le Putrahimah (Pemohon kasasi/Tergugat asal II) sebagai anak dari Amaq Nawiyah kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan pamannya selaku ahli waris yang sama-sama menerima warisan dari pewaris.
4. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam jatuhkan putusannya tidak sesuai dengan hukum acara pasal 189 R.Bg ayat 3 yakni larangan jatuhkan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung membenarkan keberatan tergugat asal bahwa Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah salah menerapkan hukum. Mahkamah Agung berpendapat selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan maka hak waris dari orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami, dan isteri menjadi tertutup (terhijab). Oleh karena itu, dalam perkara ini karena adanya tergugat asal (anak perempuan) maka penggugat asal menjadi tertutup (terhijab) untuk mendapat warisan.
Berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung dalam amar putusannya pada tanggal 27 Juli 1995 No. 86 K/AG/1994 mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/tergugat asal dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram tanggal 15 September 1993 bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Awal 1414 H No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr..
C. Analisis
Menurut analisa penulis, para penggugat asal sebagaimana tersebut dalam gugatannya di Pengadilan Agama Mataram merasa memiliki hak atas harta warisan Amaq Nawiyah. Dalih mereka adalah bahwa kakek mereka Amaq Itrawan (saudara laki-laki Amaq Nawiyah) berhak menjadi ahli waris, dikarenakan Amaq Nawiyah hanya meninggalkan 1 (satu) anak perempuan. Sehingga Amaq Itrawan berhak mendapatkan ashabah.
Dalam fikih, anak perempuan memperoleh bagian setengah jika memenuhi 2 (dua) syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan anak laki-laki yang menjadi mu’ashib-nya ahli waris yang menarik ahli waris lain menjadi ashabah. Kedua, tidak bersama-sama dengan anak perempuan lainnya. Dengan kata lain, dia hanya sendiri. Dalil warisan untuk anak perempuan yang memperoleh bagian setengah dengan kedua syarat di atas, yaitu firman Allah swt., “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (al-Nisa [4]: 11).
Dalam ilmu faraidh dikenal istilah al-Hajb. Dalam bahasa Arab artinya al-man’u terhalang. Dalam ilmu fikih, definisi al-hajb ialah menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian. Al-Hajb ada 2 (dua) macam, yaitu hajb al-nuqshan dan hajb al-hirman. Jika diperinci, ahli waris yang terhalang secara hajb al-hirman ada 19 orang, yang terdiri dari ahli waris laki-laki 12 orang dan ahli waris perempuan 7 orang. Salah satu ahli waris laki-laki yang terhalang secara hajb al-hirman adalah saudara kandung, mereka terhalang oleh 3 (tiga) orang, yaitu anak, bapak, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ini adalah ijma ulama. Maksud anak disini bermakna umum, laki-laki maupun perempuan.
Pengadilan Agama Mataram dalam memutus perkara ini memeriksa terlebih dahulu objek sengketa. Berdasarkan fakta yang ada ternyata tanah warisan Amaq Nawiyah telah dibaliknamakan atas nama anaknya Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah sebelum ia meninggal. Maka secara hukum, tanah tersebut telah sah menjadi miliknya. Oleh karena itu, majelis menolak gugatan para penggugat asal.
Sebuah harta akan disebut harta warisan bila pemiliknya meninggal dunia. Salah satu syarat waris adalah meninggalnya pewaris. Dalam perkara ini ternyata di saat Amaq Nawiyah meninggal, tanah miliknya telah dialihkan kepemilikannya kepada anaknya, terbukti secara tertulis dalam surat kepemilikan tanah. Sehingga dengan meninggalnya Amaq Nawiyah tidak menjadikan tanah dimaksud menjadi harta warisan.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram menurut penulis adalah keliru. Alasan adanya harta syarikat dalam tanah tesebut tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Dalam kenyataannya tanah tersebut milik penuh Amaq Nawiyah yang kemudian dialihkan kepemilikannya kepada anaknya. Amaq Itrawan sebagai saudaranya hanya mengelola tanah tersebut dikarenakan saat Amaq Nawiyah meninggal, anaknya masih kecil sehingga belum mampu mengelola tanah tersebut.
Dalam kasasi pun, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Agama Mataram. Kaidah hukum yang digunakan Mahkamah Agung adalah “Selama masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami, dan isteri menjadi tertutup (terhijab)”.
Bila merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan dapat ditemukan Pasal 174 sebagai berikut:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dalam pasal 174 di atas jelas terutama pada ayat (2) bahwa saudara laki-laki menjadi terhalang (terhijab) karena adanya anak, baik laki-laki maupun perempuan.

D. Penutup
Perkara waris kadang memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Adakalanya apa yang sudah diatur dalam ilmu faraid menjadi lebih rumit saat terjadi di masyarakat. Maka benar ada sebuah ungkapan yang mengatakan law in the books is not law in the action. Sehingga seorang hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara harus cermat agar keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai di masyarakat.
Berdasarkan perkara ini dapat penulis simpulkan bahwa kadang terjadi putusan di tingkat pertama berbeda dengan putusan di tingkat banding dan/atau kasasi. Kadangkala juga dapat saling menguatkan. Kalau dalam istilah sistem hukum anglo saxon ada istilah the judge made law, maka dalam sistem hukum sipil dikenal dengan istilah rechtsvinding (penemuan hukum). Tegasnya hakim bukan hanya bertugas melaksanakan undang-undang, tetapi menemukan hukum dari undang-undang. Selain itu, hakim memutus berdasarkan fakta-fakta yang ada dan diyakini kebenarannya.
Analisa yang penulis lakukan masih sangat sederhana, bahkan perlu untuk dikritik dan diperbaiki. Namun paling tidak penulis sudah berusaha melakukan sebuah analisa yurisprudensi demi meningkatkan daya kritis terhadap hukum.















DAFTAR PUSTAKA

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Buku III tentang Hukum Kewarisan.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris. Alih Bahasa: Addys Aldizar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, Cet. Ke-4.
Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1998.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Senin, 03 Januari 2011

PEMBANGUNAN HUKUM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA


Oleh:
Hidayatulloh Asmawih
A. Pendahuluan
Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut sepenuhnya tidak dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep yang menyeluruh. Akibat yang terjadi adalah implementasi hukum menjadi tidak optimal, tidak jarang perangkat hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud-maksud maupun tujuan-tujuan tertentu, yang justru memiliki tendensi untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Hukum merupakan pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia, karena tuntutan akan perubahan menyentuh segenap aspek kehidupan sosial menjadi sebuah keharusan dan rasionalisasi atas perkembangan zaman serta pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang teratur, adil dan makmur. Kaitannya terhadap hukum sebagai a tool of social engineering, dimana perubahan tersebut terdiri atas kaidah-kaidah individu yang mempengaruhi pada perubahan tingkah laku, perubahan pada kaidah-kaidah kelompok meniscayakan terjadinya perubahan secara langsung pada satuan yang tergolong sub sistem politik dan perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat merupakan perubahan yang paling fundamental sifatnya karena meliputi perubahan nilai-nilai dasar suatu masyarakat. Mengamati fenomena akan tuntutan perubahan banyak menimbulkan masalah-masalah sosial. Kendati demikian perubahan bukan berarti harus meniadakan hukum, akan tetapi bagaimana perubahan itu terjadi dalam kerangka umum serta jalur hukum yang menghargai harkat kebenaran dan keadilan.
Merunut sejarah abad ke-19 terjadi perubahan secara revolusioner yang berimplikasi diberbagai bidang antaranya bidang hukum itu sendiri. Implikasi tersebut memberi pengaruh terhadap cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan legalitas formal menuju pada suatu cara pandang yang bersifat yuridis-sosiologis. Mazhab yang dipelopori von Savigny, telah menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya, ia berpendapat “das recht wird nicht gemacth, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidaklah dibuat, melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat). Suatu hal yang patut digaris-bawahi terhadap aspek penentangan terhadap cara pandang hukum yang sifatnya legalistic positivistic yang kemudian dipertegas oleh pendapat Eugen Ehrlich, salah seorang tokoh aliran sosiological yurisprudence, yang mengatakan bahwa “at the present as well as at any other time, the center of grafity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self” berbicara tentang hukum, maka ia bukanlah hal yang statis, hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan, dan merupakan konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Oleh sebab itu dibutuhkan peranan hukum dalam menjaga keseimbangan tatanan di dalam masyarakat serta mengembalikan pada keadaan semula (restitutio in integrum), tentu diperlukan kaidah sebagai pedoman untuk bertingkah laku atau bersikap di dalam masyarakat agar kepentingan manusia terlindungi. Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan masyarakat juga menginginkan agar terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu, proses kontruksi tersebut mengandung tuntutan akan tiga hal yang oleh Radbruch, sebagai “nilai-nilai dasar dari hukum” tentunya menghadirkan tiga aspek: Keadilan, Kemanfaatan dan kepastian Hukum. Disatu sisi kepastian hukum membutuhkan sebuah perangkat legalitas formal, menghendaki sebuah keteraturan di dalam suatu negara serta berambisi menawarkan jalan-jalan eksploratif untuk menopang dogmatika hukum dan peraktek-peraktek hukum.
Seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound mengenai konsep hukum sebagai a tool of social engineering tidak terlepas pada penegakan hukum (law enforcement) yang merupakan ujung tombak agar terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat dengan bahasa yang lebih lugas. Penegakan hukum tidak lain dari segala daya upaya untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat agar terlaksananya tujuan hukum.
Proses penegakan hukum khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Kelihatannya yang terjadi di Indonesia adalah masalah penegakan hukum. Hal ini tidak pernah serius dibicarakan sehingga masalahnya tidak pernah teridentifikasi secara komprehensif dan obyektif. Seringkali ketika masalah penegakan hukum ingin dipecahkan guna mencari metode, kepentingan-kepentingan mulai berbicara, tidak pernah dicapai pendekatan yang obyektif sehingga konsekuensinya adalah kesimpulan rekomendasi yang diberikan selalu bias, dan tidak heran jika diskusi-diskusi tentang penegakan hukum di Indonesia selalu berputar-putar tanpa jelas ujung-ujungnya. Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social engineering) hanya isapan jempol belaka yang menghiasi rak-rak buku di perpustakaan tanpa dapat diwujudkan dalam prakteknya.

B. Wajah Korupsi di Indonesia
Seorang teman bercerita bahwa anaknya mulai pandai menggunakan uang untuk menyogok teman-temannya. Si kecil sering meminta dibelikan alat-alat tulis atau makanan kecil yang ternyata dibagikannya kepada teman-temannya supaya dia tetap diajak sebagai anggota kelompok/geng bermain. Anak-anak mengenal penyalahgunaan uang secara alami dan tidak ada yang dapat memahamkannya bahwa tindakan tersebut adalah tindakan negatif jika orang dewasa tidak turun tangan.
Kasus penyalahgunaan uang dan kekuasaan bukan wacana yang muncul pada era modern saja, tetapi dan dapat diduga bahwa penyalahgunaan hukum dan jabatan di dunia lahir semenjak manusia mengenal uang dan kekuasaan. Demikian pula kasus pelanggaran hukum muncul sejak hukum itu belum dibuat dan apalagi setelah diberlakukan.
Peperangan melawan tindakan kejahatan melalui penyusunan sistem perundangan dan hukum seakan dua sisi yang senantiasa beriringan. Ketika ada pelanggaran, hukum dibuat, dan segera setelah hukum baru diberlakukan muncullah jenis dan bentuk pelanggaran yang baru. Hukum dan perundangan adalah salah satu tameng antisipasi munculnya pelanggaran yang berketerusan, oleh karenanya mutlak diadakan sekalipun para pelaku dan penontonnya mungkin sudah jenuh.
Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional yang ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong dalam hasil surveinya tahun 2001, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia bersama Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama Kenya. Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia (Tabel 1). Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 5 dalam hasil surveinya yang melibatkan negara ASEAN (Tabel 2).12 Jika kita lihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari administrasi yang sangat mendasar seperti membuat kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.

Tabel 1. Skor Korupsi di 12 Negara Asia
Negara Skor Peringkat
Indonesia 9.92 1
India 9.17 2
Vietnam 8.25 3
Philipines 8 4
Cina 7 5
Taiwan 5.83 6
Korsel 5.75 7
Malaysia 5.71 8
Hongkong 3.33 9
Jepang 3.25 10
Singapura 0.9 11
Sumber: Political and Economic Risk Consultancy Tahun 2005.

Tabel 2. Index Persepsi Korupsi Negara ASEAN
Peringkat Negara IPK
3 Singapura 9.2
56 Malaysia 4.5
84 Thailand 3.4
111 Indonesia 2.8
120 Vietnam 2.7
139 Philipines 2.4
158 Laos 2.0
158 Kamboja 2.0
178 Myanmar 1.3
Sumber: Survei Transparency International 2009.

Tanpa disadari korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar seperti memberi hadiah kepada sanak saudara, teman, dan tetangga. Kebiasaan ini dibawa ke ranah kedinasan dengan memberi hadiah kepada pegawai negeri/pejabat sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Penyalahgunaan budaya ketimuran ini, lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. Di samping itu sistem pengawasan dan peraturan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri/pejabat mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik.

C. Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Menurut Syed Hussien Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption bahwa korupsi bercirikan antara lain: 1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. Biasanya ada persetujuan secara rahasia di antara pegawai yang terkait dengan si pemberi hadiah, dan di kalangan pegawai yang melakukan korupsi ada pengertian tersendiri; 2) Pada umumnya korupsi adalah suatu rahasia, kecuali di tempat yang sudah biasa dilakukan dan merajalela serta mengakar, sehingga setiap individu yang melakukannya sudah tidak menghiraukan lagi untuk melindungi perbuatan mereka dari khalayak ramai; 3) Korupsi melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik bisa berupa uang atau bukan. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.
Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia.
Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya sampai 2004.
Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian telah dilakukan tampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun waktu empat tahun tahap kedua (2004-2008), sekalipun dalam penegakan hukum dan regulasi dalam bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk memacu peningkatan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha.
Penekanan untuk memacu arus penanaman modal asing lebih mengemuka dibanding perlindungan hukum dan kepastian hukum, baik terhadap pelaku usaha pribumi maupun asing. Masalah kontroversial dalam pembangunan bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belum adanya kejelasan politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran hukum yang sama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi ketentuan Pasal 33 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafah Pancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat arus liberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan serius bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum yang akan dilaksanakan pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya.
Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasan korupsi sejak kuranglebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikan penjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.
Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.
Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebi' jakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kultur bangsa Indonesia tidaklah sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan hubungan interpersonal ternyata masih menentukan keberhasilan suatu perencanaan/program dalam mencapai tujuannya.
Kultur bangsa Indonesia menabukan penyebarluasan aib di muka umum, apalagi dalam posisi hukum masih belum dinyatakan bersalah oleh kekuatan suatu putusan pengadilan. Gerak langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan "mempermalukan" di muka publik dengan aib yang melekat pada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan antipati terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan yang tampak adalah resistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap gerak langkah Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak pembentukannya.
KPK bukan ICAC Hong Kong atau Korea Selatan atau BPR Malaysia; begitu pula institusi Kejaksaan Agung. Semakin jelas kiranya bahwa inti persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan semata-mata masalah penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan demi kepastian hukum dan keadilan, melainkan erat kaitannya dengan masalah perubahan kultur dan sikap masyarakat yang sangat permisif dalam hal memberikan dan menerima hadiah yang kemudian dikenal sebagai gratifikasi.
Sampai saat ini, perubahan kultur dan sikap anti terhadap gratifikasi di kalangan penyelenggara negara telah ada titik terang. Terbukti 50 persen dari seluruh penyelenggara negara telah melaporkan harta kekayaan mereka kepada KPK, dan dari 50 persen tersebut, kuranglebih 10 persen telah melaporkan pemberian/penerimaan hadiah kepada KPK. Sejak diberlakukannya ketentuan larangan gratifikasi pada 2001, perubahan tersebut telah ada kemajuan berarti sekalipun masih belum menyeluruh. Kegigihan KPK mengumumkan pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara berdampak positif terhadap perubahan kultur dan sikap tersebut.
Keberhasilan KPK memperkarakan korupsi sebanyak 59 kasus, yang melibatkan pejabat negara, penegak hukum, dan lembaga negara serta pemimpin proyek, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selama kurun waktu empat tahun merupakan prestasi luar biasa, sekalipun agenda prioritas pemajuan perkara sampai saat ini belum jelas dan terbuka kepada publik. Masalah pokok kinerja KPK dan Kejaksaan Agung terletak pada penguatan transparansi serta akuntabilitas kinerja kepada publik agar tidak menimbulkan mispersepsi adanya diskriminatif atau "tebang pilih".

D. Simpulan dan Saran
Untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia, diperlukan penguatan mekanisme internal di penegak hukuk terutama KPK dan Kejaksaan Agung. Pembangunan hukum dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang, seharusnya menanamkan paradigma baru, yaitu bahwa pencegahan dan penindakan serta pengembalian aset korupsi merupakan tiga pilar utama yang berkaitan erat.
Penindakan dan penghukuman pelaku korupsi tidak akan berhasil signifikan untuk membangun pemerintah yang sehat dan berwibawa serta bebas korupsi kolusi nepotisme jika pencegahan melalui reformasi birokrasi tidak dilaksanakan secara optimal. Begitu pula kedua strategi tersebut tidak dapat disebut berhasil secara komprehensif dan memberikan kontribusi signifikan terhadap anggaran negara jika tidak berhasil mengembalikan aset korupsi kepada negara atau memberikan perlindungan kepastian hukum kepada pihak ketiga yang beriktikad baik.
Merujuk pada tiga strategi tersebut, masalah pemberantasan korupsi di masa mendatang bukan terletak pada faktor penghukuman semata-mata, melainkan seberapa jauh kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dapat membangun sistem birokrasi yang "aman dan terlindungi" dari perilaku koruptif serta seberapa banyak kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengembalian aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam negeri dan ditempatkan di luar negeri.
Ketiga strategi baru pemberantasan korupsi di masa mendatang harus diperlakukan secara seimbang, direncanakan dengan baik dan berkesinambungan, sehingga persoalannya nanti bukan terletak pada mana yang lebih penting: menghukum atau mengembalikan aset korupsi, melainkan terletak pada efisiensi dan efektivitas penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum dan berkeadilan sosial.

Profesi Hukum: Advokat Syari’ah Mencari Legitimasi


Oleh:
Hidayatulloh Asmawih

A. Profesi Hukum
Daryl Koehn mengasumsikan bahwa dalam profesi disyaratkan adanya pengetahuan dari pendidikan maupun praktik untuk penguasaan teknik keprofesionalannya. Jadi profesi tidak dijalankan dengan asal-asalan, akan tetapi memiliki tanggung jawab moral terhadap profesinya. Oleh karena itu, ada 3 (tiga) nilai moral yang dituntut untuk pengembang profesi, antara lain:
a. berani berbuat untuk memenuhi tuntutan profesi;
b. menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalani profesi; dan
c. idealisme sebagai perwujudan makna misi organisasi profesi.
Ciri-ciri khas yang menjadi dasar profesi sebagaimana ditulis dalam Artikel Encyclopedia of Education, meliputi:
a. suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas;
b. suatu teknik intelektual;
c. penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis;
d. suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi;
e. beberapa standard an pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan;
f. kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;
g. asosiasi dan anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;
h. pengakuan sebagai profesi;
i. perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi; dan
j. hubungan erat dengan profesi lain.
Profesi advokat disebut dengan officium nobile (profesi yang terhormat). Memang di tangan mereka keadilan hukum bagi orang yang berperkara dipertaruhkan. Jangan sampai orang-orang yang berperkara masuk ke jurang kehinaan akibat ketidakmegertian tentang hukum.
Pengertian advokat dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2003 Tentang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

B. Sejarah Advokat di Indonesia
Dalam mengkaji sejarah advokat di Indonesia akan kita mulai sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Sebagai bangsa yang dijajah, maka sistem hukum pun mengadopsi dari Belanda. Hukum diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan kepentingan sang penjajah. Muncul pula penggolongan masyarakat dalam hukum menjadi 3 (tiga), yakni warga Eropa, Timur Asing, dan pribumi.
Pengaruh penggolongan masyarakat dalam sistem hukum penjajah dipastikan mempengaruhi dunia advokat. Seperti adanya golongan dalam masyarakat, terdapat juga pada dunia advokat. Pada masa itu terdapat 2 (dua) macam golongan advokat. Pokrol bambu di desa-desa yang bukan sarjana hukum dari warga pribumi dan Advokat di kota-kota yang sarjana hukum dari bangsa Eropa.
Pada awalnya fungsi pokrol bambu dan advokat profesional secara esensial tidak jauh berbeda, yakni untuk menjembatani kepentingan hukum masyarakat yang oleh politik hukum pemerintah Hindia Belanda diharuskan untuk menempuh prosedur, mekanisme, dan tata kerja peradilan pemerintah agar memenuhi standar legalitas formal yang ditetapkan. Satu-satunya yang harus dibedakan adalah prasyarat yang harus dimiliki keduanya untuk menjalani tugas tersebut dan sasaran masyarakat yang akan mereka layani. Sehingga standar kemampuan dan kecakapan keduanya berbeda begitu pula honor yang akan mereka dapatkan.
Pranata hukum pertama yang mengatur advokat adalah Statsblaad 1847-23 jo. Stbl. 1848-57 mengenai Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) yang lazim di sebut RO. Namun dengan politik diskriminasi (dualisme) yang mewarnai penerapan hukum di Hindia Belanda, RO sebenarnya diperuntukkan bagi kawula (warga negara) Belanda yang merupakan sarjana hukum lulusan universitas di Belanda atau lulusan sekolah tinggi hukum di Jakarta. Ketentuan RO diterapakn hanya bagi advocaat en procureur yang menangani yang melibatkan orang-orang Eropa saja pada peradilan Raad van Justitie. Sedangkan peraturan bagi pokrol bambu yang memang muncul di kalangan pribumi, diatur tersendiri jauh kemudian hari dalam Staatsblaad 1927-496 tentang Peraturan Bantuan dan Perwakilan para Pihak dalam Perkara Perdata di Pengadilan Negeri.
Bila advokat adalah para lulusan sarjana hukum dari universitas di Belanda atau sekolah tinggi hukum di Jakarta, pokrol bambu tidak harus seperti itu. Mereka berasal dari mana saja yang tugasnya membela dan mewakili orang yang berperkara perdata di pengadilan. Sehingga kualitas antara advokat dengan pokrol bambu jauh sangat berbeda.
Advokat kebanyakan berasal dari warga Belanda dan Cina, namun pemerintah Hindia Belanda tidak menutup kesempatan bagi warga pribumi yakni para pribumi priyayi untuk belajar di sekolat tinggi hukum di Jakarta, bahkan ada yang di kirim ke universitas di Belanda. Namun mereka sebenarnya dididik untuk melayani pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Setelah lulus mereka bekerja di pengadilan, administrasi pemerintahan, dan ada yang menetap bekerja di Belanda. Hanya sedikit sekali yang pulang ke Indonesia menjadi advokat praktik.
Setelah Indonesia merdeka, kebutuhan advokat cukup banyak. Mereka dibutuhkan dalam dunia peradilan, kegiatan ekonomi, dan lain-lain. Advokat terus berkembang karena sekolah tinggi hukum terus melahirkan sarjana hukum bagi masyarakat yang baru merdeka.
Sekitar tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an, belum ada organisasi advokat yang teratur, terutama di Jakarta. Memang ada di daerah lain seperti Semarang, telah terbentuk Balie van Advocaten, namun di Jakarta aktivitas perkumpulan advokat baru sekedar pertemuan berkala dan perkumpulan informal. Muncul gagasan dari advokat seperti Mohammad Roem untuk mendirikan Balie van Advocaten di Jakarta. Pada awalnya gagasan tersebut hanya untuk membentuk oraganisasi lokal dengan landasan anggaran dasar, namun gagasan berkembang menjadi sebuah ide untuk mempersatukan advokat secara nasional. Lahirlah Persatuan Advokat Indonesia (PAI) pada tanggal 14 Maret 1963. Sambutan di daerah-daerah sangat baik. Setelah itu diadakan kongres dan menghasilkan organisasi advokat nasional pertama yaitu Persatuan Advokat Indonesia disingkat Peradin yang menjadi satu-satunya organisasi advokat di Indonesia.

C. Wajah Advokat Indonesia Saat Ini
Berbicara tentang wajah advokat saat ini maka kita akan melihat kondisi sebuah profesi yang disebut dengan officium nobile ini. Sejatinya advokat adalah para pembela hukum dan keadilan bagi para masyarakat pencari keadilan. Mereka diamanatkan sebagai sarjana hukum untuk membela orang-orang yang berperkara di pengadilan dari ketidaktahuan mereka terhadap hukum.
Advokat memang tidak berstatus pegawai negeri seperti penegak hukum lainnya seperti hakim, jaksa, dan polisi. Mereka menjalankan profesinya membela kepentingan klien yang berperkara di pengadilan. Sehingga jangan sampai hak-hak klien tidak terpenuhi akibat ketidakmengertian mereka terhadap hukum. Bukan hanya di pengadilan, advokat juga memberikan pelayanan di luar pengadilan seperti dalam bentuk konsultasi, mediasi, negoisasi, arbitrase, dan lain-lain. Maka peran mereka sangat besar dalam dunia hukum dan peradilan.
Perubahan sosial masyarakat mempengaruhi bidang pekerjaan yang dilakukan oleh advokat. Dahulu jasa mereka hanya digunakan para klien untuk membantu bila ada perkara di pengadilan. Advokat sebagai pemberi jasa untuk membantu klien agar mudah dalam mengurus administrasi, mewakili, dan membantu dalam hal argumentasi hukum. Saat ini jasa advokat bukan hanya sekedar itu. Banyak orang yang rajin menggunakan jasa mereka bahkan dalam hal kecil sekalipun. Ini terjadi pada golongan elit berpenghasilan tinggi yang sehari-harinya tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal yang berurusan dengan hukum, apalagi hadir di persidangan.
Dunia kerja advokat semakin luas saja. Dalam litigasi, mereka melayani klien mulai dari awal di tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali (PK). Dibukanya kran reformasi hukum di Indonesia meneguhkan kembali supremasi hukum. Para advokat akan membela kliennya sampai PK sekalipun demi keadilan bagi si klien. Sehingga masa kerja seorang advokat saja dalam menangani satu orang klien itu dapat mencapai berbulan-bulan bahkan tahun.
Di bidang non litigasi, mereka sekarang menangani bidang mediasi, arbitrasi, negoisasi, konsiliasi, dan sebagainya. Bahkan dalam bidang non litigasi ini menjadikan advokat bukan hanya lagi melayani orang tapi juga perusahaan. Sehingga pelayanan advokat bukan lagi hanya sebagai sekali lewat tetapi menjadi ketagihan dan kemudian berlangganan. Ini terjadi kebanyakan bagi pengusaha dan perusahaan. Maka tepat bila Satjipto Rahardjo menggunakan istilah nasabah bagi para pengguna jasa advokat.
Dalam hal ini, Marc Galanter sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo membagi para pihak ke dalam dua kategori, yaitu sebagai Repeat Players (RP), yang menangani perkara yang sama dari waktu dan One Shotters (OS), yang hanya sekali-kali berhubungan dengan pengadilan. Pasangan dalam perkara perceraian, pengklaim dalam perkara kecelakaan kendaraan, dan terdakwa kasus pidana adalah contoh-contoh dari pelaku OS. Perusahaan asuransi, jaksa adalah contoh-contoh pelaku RS.
Perubahan pola kerja juga mempengaruhi pundi-pundi uang para advokat. Bantuan hukum bukan lagi sebagai pembelaan keadilaan tetapi juga sebagai ajang bisnis. Kalau kita lihat saat ini dimana kantor-kantor hukum advokat sudah seperti perusahaan besar dengan fasilitas dan manajemen yang rapi. Kantor hukum terisi kumpulan advokat yang terikat perjanjian untuk bekerjasama dalam satu firma yang berbentuk badan hukum.
Namun perubahan ini juga merubah sikap dan prilaku sebagain besar advokat di Indoensia. Maka muncul istilah “advokat hitam” yang membela kleinnya dengan menghalalkan segala cara. Kasus suap kepada penegak hukum para koruptor kelas kakap menjadi gambaran wajah advokat saat ini. Bahkan sudah ada dengan jelas advokat yang menjadi perantara perbuatan biadab korupsi demi kepentingan klien yang jelas-jelas terlibat perkara hukum.

D. Advokat Syari’ah: Sebuah Terobosan atau Ikut-ikutan?
Kata syari’ah yang disandingkan dengan kata advokat belum diberikan makna yang jelas. Namun bila dilihat kenyataannya, yang disebut advokat syari’ah adalah mereka yang diangkat menjadi advokat dan berasal dari fakultas syariah di UIN/IAIN/STAIN. Namun kata syari’ah apakah mengikuti tren dunia yang sedang marak dengan lahirnya bank syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, dan seterusnya. Mudah-mudahan tidak muncul kemudian hari istilah jaksa syari’ah, hakim syari’ah, atau bahkan koruptor syari’ah.
Keberadaan advokat lulusan fakultas syariah diakomodir oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menyebutkan bahwa lulusan fakultas syariah dapat menjadi advokat sebagaimana lulusan fakultas hukum. Akan tetapi ciri khas ke-Islaman dan juga gelar akademik berbeda dengan lulusan fakultas hukum menjadikan advokat lulusan fakultas syari’ah berbeda dan bahkan dibedakan dengan yang lain, yakni sarjana hukum.
Masuknya lulusan fakultas syari’ah ke dalam dunia advokat belum teruji karena keberadaanya masih baru. Namun kita belum melihat gerakan advokat syari’ah untuk menggetarkan dunia hukum di Indonesia. Mereka belum taringnya untuk menegakkan supremasi hukum di negara tercinta. Walaupun sudah ada wadah organisasi yang menaungi yaitu Asosiasi Pengacara Seluruh Indonesia (APSI).
Alih-alih membuat sebuah gerakan fenomenal dan spektakuler dalam dunia hukum, mereka masih mencari jati dirinya. Apalagi hal yang cukup menyedihkan dimana sebagain besar advokat syari’ah tidak percaya diri dengan ilmu dan almamaternya. Mereka yang sudah lulus dari fakultas syariah ikut-ikutan mengambil kuliah di fakultas hukum agar mendapat gelar Sarjana Hukum (S.H.) demi diakui oleh masyarakat secara luas. Hal itu demi didapatkannya pengakuan bahwa mereka cakap dalam bidang hukum. Memang paradigma saat ini hanya lulusan fakultas hukum saja yang mengerti hukum dan berhak bekerja di profesi hukum.
Secercah harapan masih ada. Saat ini sudah banyak lulusan fakultas syari’ah mulai giat terjun ke dunia advokat. Mereka siap bersaing dengan para sarjana hukum. Dengan bekal ilmu dari fakultas syari’ah mereka mampu berkompetisi dengan baik. Namun mereka harus bekerja lebih keras demi mencapai kepercayaan masyarakat. Kita selalu berharap advokat syari’ah menjadi solusi bagi penegakkan supremasi hukum di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-8.
Kadafi, Binziad, dkk. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indoenesia, 2001.
Komite Kerja Advokat Indonesia, Kode Etik Advokat Indonesia. Disahkan pada 22 Mei 2002 dan disalin dan diperbanyak oleh Panitia Daerah Ujian Kode Etik Advokat Indonesia DKI Jakarta 2002.
Rahardjo, Satjipto. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Cet. Ke-2.
Sadjijono. Etika Profesi Hukum: Suatu Telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi POLRI. Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008, Cet. Ke-1.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49.