Pages

Senin, 03 Januari 2011

PEMBANGUNAN HUKUM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA


Oleh:
Hidayatulloh Asmawih
A. Pendahuluan
Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut sepenuhnya tidak dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep yang menyeluruh. Akibat yang terjadi adalah implementasi hukum menjadi tidak optimal, tidak jarang perangkat hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud-maksud maupun tujuan-tujuan tertentu, yang justru memiliki tendensi untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Hukum merupakan pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia, karena tuntutan akan perubahan menyentuh segenap aspek kehidupan sosial menjadi sebuah keharusan dan rasionalisasi atas perkembangan zaman serta pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang teratur, adil dan makmur. Kaitannya terhadap hukum sebagai a tool of social engineering, dimana perubahan tersebut terdiri atas kaidah-kaidah individu yang mempengaruhi pada perubahan tingkah laku, perubahan pada kaidah-kaidah kelompok meniscayakan terjadinya perubahan secara langsung pada satuan yang tergolong sub sistem politik dan perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat merupakan perubahan yang paling fundamental sifatnya karena meliputi perubahan nilai-nilai dasar suatu masyarakat. Mengamati fenomena akan tuntutan perubahan banyak menimbulkan masalah-masalah sosial. Kendati demikian perubahan bukan berarti harus meniadakan hukum, akan tetapi bagaimana perubahan itu terjadi dalam kerangka umum serta jalur hukum yang menghargai harkat kebenaran dan keadilan.
Merunut sejarah abad ke-19 terjadi perubahan secara revolusioner yang berimplikasi diberbagai bidang antaranya bidang hukum itu sendiri. Implikasi tersebut memberi pengaruh terhadap cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan legalitas formal menuju pada suatu cara pandang yang bersifat yuridis-sosiologis. Mazhab yang dipelopori von Savigny, telah menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya, ia berpendapat “das recht wird nicht gemacth, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidaklah dibuat, melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat). Suatu hal yang patut digaris-bawahi terhadap aspek penentangan terhadap cara pandang hukum yang sifatnya legalistic positivistic yang kemudian dipertegas oleh pendapat Eugen Ehrlich, salah seorang tokoh aliran sosiological yurisprudence, yang mengatakan bahwa “at the present as well as at any other time, the center of grafity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self” berbicara tentang hukum, maka ia bukanlah hal yang statis, hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan, dan merupakan konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Oleh sebab itu dibutuhkan peranan hukum dalam menjaga keseimbangan tatanan di dalam masyarakat serta mengembalikan pada keadaan semula (restitutio in integrum), tentu diperlukan kaidah sebagai pedoman untuk bertingkah laku atau bersikap di dalam masyarakat agar kepentingan manusia terlindungi. Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan masyarakat juga menginginkan agar terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu, proses kontruksi tersebut mengandung tuntutan akan tiga hal yang oleh Radbruch, sebagai “nilai-nilai dasar dari hukum” tentunya menghadirkan tiga aspek: Keadilan, Kemanfaatan dan kepastian Hukum. Disatu sisi kepastian hukum membutuhkan sebuah perangkat legalitas formal, menghendaki sebuah keteraturan di dalam suatu negara serta berambisi menawarkan jalan-jalan eksploratif untuk menopang dogmatika hukum dan peraktek-peraktek hukum.
Seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound mengenai konsep hukum sebagai a tool of social engineering tidak terlepas pada penegakan hukum (law enforcement) yang merupakan ujung tombak agar terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat dengan bahasa yang lebih lugas. Penegakan hukum tidak lain dari segala daya upaya untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat agar terlaksananya tujuan hukum.
Proses penegakan hukum khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Kelihatannya yang terjadi di Indonesia adalah masalah penegakan hukum. Hal ini tidak pernah serius dibicarakan sehingga masalahnya tidak pernah teridentifikasi secara komprehensif dan obyektif. Seringkali ketika masalah penegakan hukum ingin dipecahkan guna mencari metode, kepentingan-kepentingan mulai berbicara, tidak pernah dicapai pendekatan yang obyektif sehingga konsekuensinya adalah kesimpulan rekomendasi yang diberikan selalu bias, dan tidak heran jika diskusi-diskusi tentang penegakan hukum di Indonesia selalu berputar-putar tanpa jelas ujung-ujungnya. Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social engineering) hanya isapan jempol belaka yang menghiasi rak-rak buku di perpustakaan tanpa dapat diwujudkan dalam prakteknya.

B. Wajah Korupsi di Indonesia
Seorang teman bercerita bahwa anaknya mulai pandai menggunakan uang untuk menyogok teman-temannya. Si kecil sering meminta dibelikan alat-alat tulis atau makanan kecil yang ternyata dibagikannya kepada teman-temannya supaya dia tetap diajak sebagai anggota kelompok/geng bermain. Anak-anak mengenal penyalahgunaan uang secara alami dan tidak ada yang dapat memahamkannya bahwa tindakan tersebut adalah tindakan negatif jika orang dewasa tidak turun tangan.
Kasus penyalahgunaan uang dan kekuasaan bukan wacana yang muncul pada era modern saja, tetapi dan dapat diduga bahwa penyalahgunaan hukum dan jabatan di dunia lahir semenjak manusia mengenal uang dan kekuasaan. Demikian pula kasus pelanggaran hukum muncul sejak hukum itu belum dibuat dan apalagi setelah diberlakukan.
Peperangan melawan tindakan kejahatan melalui penyusunan sistem perundangan dan hukum seakan dua sisi yang senantiasa beriringan. Ketika ada pelanggaran, hukum dibuat, dan segera setelah hukum baru diberlakukan muncullah jenis dan bentuk pelanggaran yang baru. Hukum dan perundangan adalah salah satu tameng antisipasi munculnya pelanggaran yang berketerusan, oleh karenanya mutlak diadakan sekalipun para pelaku dan penontonnya mungkin sudah jenuh.
Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional yang ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong dalam hasil surveinya tahun 2001, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia bersama Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama Kenya. Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia (Tabel 1). Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 5 dalam hasil surveinya yang melibatkan negara ASEAN (Tabel 2).12 Jika kita lihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari administrasi yang sangat mendasar seperti membuat kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.

Tabel 1. Skor Korupsi di 12 Negara Asia
Negara Skor Peringkat
Indonesia 9.92 1
India 9.17 2
Vietnam 8.25 3
Philipines 8 4
Cina 7 5
Taiwan 5.83 6
Korsel 5.75 7
Malaysia 5.71 8
Hongkong 3.33 9
Jepang 3.25 10
Singapura 0.9 11
Sumber: Political and Economic Risk Consultancy Tahun 2005.

Tabel 2. Index Persepsi Korupsi Negara ASEAN
Peringkat Negara IPK
3 Singapura 9.2
56 Malaysia 4.5
84 Thailand 3.4
111 Indonesia 2.8
120 Vietnam 2.7
139 Philipines 2.4
158 Laos 2.0
158 Kamboja 2.0
178 Myanmar 1.3
Sumber: Survei Transparency International 2009.

Tanpa disadari korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar seperti memberi hadiah kepada sanak saudara, teman, dan tetangga. Kebiasaan ini dibawa ke ranah kedinasan dengan memberi hadiah kepada pegawai negeri/pejabat sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Penyalahgunaan budaya ketimuran ini, lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata. Di samping itu sistem pengawasan dan peraturan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri/pejabat mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik.

C. Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Menurut Syed Hussien Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption bahwa korupsi bercirikan antara lain: 1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. Biasanya ada persetujuan secara rahasia di antara pegawai yang terkait dengan si pemberi hadiah, dan di kalangan pegawai yang melakukan korupsi ada pengertian tersendiri; 2) Pada umumnya korupsi adalah suatu rahasia, kecuali di tempat yang sudah biasa dilakukan dan merajalela serta mengakar, sehingga setiap individu yang melakukannya sudah tidak menghiraukan lagi untuk melindungi perbuatan mereka dari khalayak ramai; 3) Korupsi melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik bisa berupa uang atau bukan. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.
Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia.
Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya sampai 2004.
Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian telah dilakukan tampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun waktu empat tahun tahap kedua (2004-2008), sekalipun dalam penegakan hukum dan regulasi dalam bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk memacu peningkatan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha.
Penekanan untuk memacu arus penanaman modal asing lebih mengemuka dibanding perlindungan hukum dan kepastian hukum, baik terhadap pelaku usaha pribumi maupun asing. Masalah kontroversial dalam pembangunan bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belum adanya kejelasan politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran hukum yang sama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi ketentuan Pasal 33 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafah Pancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat arus liberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan serius bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum yang akan dilaksanakan pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya.
Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasan korupsi sejak kuranglebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikan penjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.
Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.
Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebi' jakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kultur bangsa Indonesia tidaklah sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan hubungan interpersonal ternyata masih menentukan keberhasilan suatu perencanaan/program dalam mencapai tujuannya.
Kultur bangsa Indonesia menabukan penyebarluasan aib di muka umum, apalagi dalam posisi hukum masih belum dinyatakan bersalah oleh kekuatan suatu putusan pengadilan. Gerak langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan "mempermalukan" di muka publik dengan aib yang melekat pada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan antipati terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan yang tampak adalah resistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap gerak langkah Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak pembentukannya.
KPK bukan ICAC Hong Kong atau Korea Selatan atau BPR Malaysia; begitu pula institusi Kejaksaan Agung. Semakin jelas kiranya bahwa inti persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan semata-mata masalah penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan demi kepastian hukum dan keadilan, melainkan erat kaitannya dengan masalah perubahan kultur dan sikap masyarakat yang sangat permisif dalam hal memberikan dan menerima hadiah yang kemudian dikenal sebagai gratifikasi.
Sampai saat ini, perubahan kultur dan sikap anti terhadap gratifikasi di kalangan penyelenggara negara telah ada titik terang. Terbukti 50 persen dari seluruh penyelenggara negara telah melaporkan harta kekayaan mereka kepada KPK, dan dari 50 persen tersebut, kuranglebih 10 persen telah melaporkan pemberian/penerimaan hadiah kepada KPK. Sejak diberlakukannya ketentuan larangan gratifikasi pada 2001, perubahan tersebut telah ada kemajuan berarti sekalipun masih belum menyeluruh. Kegigihan KPK mengumumkan pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara berdampak positif terhadap perubahan kultur dan sikap tersebut.
Keberhasilan KPK memperkarakan korupsi sebanyak 59 kasus, yang melibatkan pejabat negara, penegak hukum, dan lembaga negara serta pemimpin proyek, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selama kurun waktu empat tahun merupakan prestasi luar biasa, sekalipun agenda prioritas pemajuan perkara sampai saat ini belum jelas dan terbuka kepada publik. Masalah pokok kinerja KPK dan Kejaksaan Agung terletak pada penguatan transparansi serta akuntabilitas kinerja kepada publik agar tidak menimbulkan mispersepsi adanya diskriminatif atau "tebang pilih".

D. Simpulan dan Saran
Untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia, diperlukan penguatan mekanisme internal di penegak hukuk terutama KPK dan Kejaksaan Agung. Pembangunan hukum dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang, seharusnya menanamkan paradigma baru, yaitu bahwa pencegahan dan penindakan serta pengembalian aset korupsi merupakan tiga pilar utama yang berkaitan erat.
Penindakan dan penghukuman pelaku korupsi tidak akan berhasil signifikan untuk membangun pemerintah yang sehat dan berwibawa serta bebas korupsi kolusi nepotisme jika pencegahan melalui reformasi birokrasi tidak dilaksanakan secara optimal. Begitu pula kedua strategi tersebut tidak dapat disebut berhasil secara komprehensif dan memberikan kontribusi signifikan terhadap anggaran negara jika tidak berhasil mengembalikan aset korupsi kepada negara atau memberikan perlindungan kepastian hukum kepada pihak ketiga yang beriktikad baik.
Merujuk pada tiga strategi tersebut, masalah pemberantasan korupsi di masa mendatang bukan terletak pada faktor penghukuman semata-mata, melainkan seberapa jauh kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dapat membangun sistem birokrasi yang "aman dan terlindungi" dari perilaku koruptif serta seberapa banyak kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengembalian aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam negeri dan ditempatkan di luar negeri.
Ketiga strategi baru pemberantasan korupsi di masa mendatang harus diperlakukan secara seimbang, direncanakan dengan baik dan berkesinambungan, sehingga persoalannya nanti bukan terletak pada mana yang lebih penting: menghukum atau mengembalikan aset korupsi, melainkan terletak pada efisiensi dan efektivitas penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum dan berkeadilan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar