Pages

Minggu, 09 Januari 2011

Penentuan Ahli Waris


Oleh: Hidayatulloh

A. Pandahuluan
Dalam kehidupan di dunia ini manusia membutuhkan harta. Baik digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga, saudara, bahkan untuk orang lain yang ada di sekitarnya. Manusia memang cenderung mencintai harta. Secara kodrati harta dapat digunakan pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan bahkan kepuasan pribadi. Maka sangat tidak aneh bila manusia saling berlomba-lomba untuk mendapatkanya.
Islam tidak melarang manusia untuk mencari harta di dunia. Bahkan terdapat beberapa ayat al-Quran yang menganjurkan manusia untuk mendapatnya. Namun Islam mengatur agar manusia dalam mencari itu menggunakan cara-cara yang hak, tanpa merugikan orang lain. Maka dalam fikih akan kita temukan aturan tentang jual beli, utang piutang, waris, hibah, wakaf, wasiat, dan sebagainya. Sehingga bila terjadi konflik di antara manusia dikarenakan adanya pihak-pihak yang tidak konsisten dengan aturan-aturan yang ada dapat teratasi dengan baik.
Salah satu perkara harta yang sering menimbulkan sengketa adalah perkara harta warisan. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia biasanya menimbulkan pertikaian antara ahli waris. Hal ini memang sering terjadi. Apalagi pengetahuan masyarakat akan ilmu waris atau yang disebut ilmu faraid sangat kurang. Oleh karena itu dibutuhkan pihak ketiga sebagai mediator yang berperan agar semua hak ahli waris dapat terpenuhi sesuai dengan ilmu tersebut. Mediator bisa saja seorang ulama, tokoh masyarakat, atau orang yang dipercaya oleh ahli waris untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Bila mediator gagal menyelesaikan sengketa, maka para ahli waris akan meminta Pengadilan Agama untuk memberikan putusan yang bersifat mengikat dan memaksa. Biasanya salah satu ahli waris mengajukan gugatan atau bahkan bisa saja beberapa pihak secara bersamaan dalam kasus yang sama. Sengketa akan semakin rumit bilamana pihak-pihak yang berperkara sama-sama merasa yang paling berhak sehingga tidak cukup sampai di tingkat pertama. Perkara terus berlanjut hingga tingkat kasasi dan banding. Sehingga perkara tersebut menjadi lama dan berlarut-larut untuk diselesaikan.
Berikut ini adalah analisa yang penulis lakukan terhadap perkara waris yang terjadi di Pengadilan Agama Mataram. Perkara ini sangat menarik karena begitu rumit dan panjang hingga kasasi di Mahkamah Agung.

B. Duduk Perkara
1. Tingkat Pertama
Bahwa di dusun Malimbu Desa Pemenang Barat Kecamatan Tanjung pernah hidup 2 (dua) orang laki-laki bersaudara kandung yang masing-masing bernama Amaq Itrawan dan Amaq Nawiyah. Amaq Itrawan meninggal dunia pada tahun 1930 dengan meninggalkan ahli waris sebagai berikut:
1. Inaq Itrawan (isteri) telah meninggal dunia pada tahun 1960.
2. Amaq Askiah bin Amaq Itrawan (anak laki-laki) telah meninggal dunia pada tahun 1940.
3. Inaq Kadariah binti Amaq Itrawan telah meninggal dunia pada tahun 1992 dengan meninggalkan ahli waris yaitu:
a. Muslim.
b. Ma’arif.
4. Amaq Mu’minah bin Amaq Itrawan (anak perempuan) telah meninggal dunia pada tahun 1950 dengan meninggalkan ahli waris yaitu:
a. Muhammad Husni bin Amaq Mu’minah.
b. Nursaid bin Amaq Mu’minah (Penggugat Asli).
c. Le Rachmah binti Amaq Mu’minah.
5. Inaq Sani binti Itrawan telah meninggal dunia pada tahun 1955 dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki bernama Fuad.
6. Inaq Mas’ud binti Amaq Itrawan.
7. Amaq Husniah bin Amaq Itrawan yang telah meninggal dunia pada tahun 1965 dengan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan bernama Sariah.
8. Loq Dariah bin Amaq Itrawan yang telah meninggal dunia pada tahun 1947.
Bahwa Amaq Nawiyah telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan bernama Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah disamping meninggalkan ahli waris juga meninggalkan warisan berupa 2 (dua) bidang tanah kebun seluas 6 Ha. Ketika Amaq Nawiyah meninggal dunia tanah tersebut belum dibagi waris tetapi langsung dikuasai oleh Amaq Itrawan, karena waktu itu anak almarhum Amaq Nawiyah yaitu Le Putrahimah masih kecil.
Selanjutnya setelah Amaq Itrawan meninggal dunia tanah seluas 6 Ha tersebut dikuasai oleh isteri dan anak-anak Amaq Itrawan. Kemudian setelah isteri dan anak-anak Amaq Itrawan meninggal dunia tanah kebun tersebut diambil alih dan dikuasai oleh Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah, anak perempuan Amaq Nawiyah.
Keturunan dari Amaq Itrawan menggugat Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah ke Pengadilan Agama Mataram. Selain Le Putrahimah, tergugat adalah Le Atiah binti Said, Loq Muhammad alias H. Muh Baihaqi bin Amaq Muhammad dan Musarjin bin Amaq Muhammad. Para penggugat adalah Nursaid bin Amaq Mu’minah, Muslim bin Inaq Kadariah, Ma’rif bin Inaq Kadariah, dan Inaq Mas’ud binti Amaq Itrawan.
Menurut para penggugat, Amaq Nawiyah meninggal tanpa meninggalkan keturunan anak laki-laki, maka mereka merasa berhak atas sebagian tanah kebun seluas 6 Ha tersebut. Untuk menjamin agar tanah tersebut tidak dialihkan ke pihak ketiga, maka para penggugat mohon diletakkan sita jaminan atas tanah tersebut.
Majelis hakim Pengadilan Agama Mataram dalam amar putusannya No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr tanggal 5 November 1992 menolak gugatan para penggugat. Dalam konvensi disebutkan bahwa sebelum mempertimbangkan hal-hal yang didalihkan oleh para Penggugat maka untuk mengetahui ada tidaknya suatu kepentingan hukum, Majelis berpendapat bahwa perihal pertama yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu dalam perkara ini adalah mengenai objek gugatan. Berdasarkan peninjauan lokasi ternyata Penggugat tidak dapat membuktikan tentang luas objek sengketa yang disanggah oleh Tergugat dan ternyata Tergugat telah memberikan bukti-bukti pipil garuda sehingga patut diduga telah terjadi suatu proses sedemikian rupa sesuai hukum sehingga objek sengketa telah sah menjadi milik Tergugat. Oleh karena itu hal-hal lain yang didalihkan tidak dapat diterima karena tidak ada kepentingan hukumnya.

2. Tingkat Banding
Penggugat tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama Mataram. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Dalam putusannya, Majelis hakim tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram dan mengabulkan gugatan penggugat asal.
Dalam putusan banding, disebutkan bahwa meskipun tanah-tanah kebun sengketa berasal dari milik Amaq Nawiyah tersebut telah dibalik namakan kepada Le Putrahimah alias Hj. Hikmah dan telah memperoleh Pipil Garuda atas namanya sendiri (Le Putrahimah) namun pada waktu meninggalnya Amaq Nawiyah, kedua pihak mengakui masih jadi milik almarhum, karena tanah-tanah sengketa adalah harta peninggalan almarhum yang diwariskan kepada ahli warisnya.
Bahwa dari hasil pemeriksaan dalam sidang Pengadilan Agama Mataram terbukti bahwa tanah-tanah kebun sengketa merupakan tanah Syarikat yang belum dibagi waris, antara Le Putahimah alias Hj. Hikmah dan Amaq Itrawan.
Majelis tingkat banding menetapkan Amaq telah meninggal dunia dengan meninggalkan 2 (dua) ahli waris yaitu:
1. Hikmah alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah (Terggugat I).
2. Amaq Itrawan (saudara laki-laki).
Menetapkan tanah kebun Pipil No. 2534/7002, Persil No. 375 kelas III Luas 3.260 Ha dan tanah kebun Pipil No. 2532/2002, Persil No. 375 kelas III luas 3440 Ha terletak di Dusun Malimbu Desa Pemenang Barat, Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat adalah harta peninggalan Amaq Nawiyah yang belum dibagi waris. Selanjutnya menetapkan bagian masing-masing ahli sebagai berikut:
1. Hikmah alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah (anak perempuan/Tergugat I) mendapat 1/2 bagian dari kedua tanah kebun di atas.
2. Amaq Itrawan (Saudara laki-laki) mendapat 1/2 bagian dari kedua kebun di atas.
Amaq Itrawan ditetapkan meninggal tahun 1930 dengan meninggalkan ahli waris yaitu seorang isteri (Inaq Itwaran), 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 4 (empat) orang anak perempuan. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Amaq Itrawan sebagai berikut:
1. Inaq Itrawan mendapat 1/8 bagian.
2. Anak-anak mendapat ashabah 7/8 dengan ketentuan bagian anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
Berikut rincian penetapan Majelis terhadap keturunan Amaq Nawiyah:
1. Menetapkan Amaq Askiyah telah meninggal dunia pada tahun 1940 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan), 3 (tiga) orang saudara laki-laki dan 3 (tiga) saudara perempuan.
2. Menetapkan Loq Dariah bin Amaq telah meninggal dunia pada tahun 1947 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan), 2 (dua) orang saudara laki-laki dan 3 (tiga) orang saudara perempuan.
3. Menetapkan Amaq Mu’minah telah meninggal dunia pada tahun 1950 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan), 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
4. Menetapkan Inaq Sani telah meninggal dunia pada 1955 dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu (Inaq Itrawan) dan seorang anak laki-laki.
5. Menetapkan Inaq Itrawan telah meninggal dunia pada tahun 1960 dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan.
6. Menetapkan Amaq Husniyah telah meninggal dunia pada tahun 1965 dengan meninggalkan ahli waris 3 (tiga) orang anak perempuan.
7. Menetapkan Inaq Kadariyah telah meninggal dunia pada tahun 1992 dengan mmeninggalkan ahli waris 2 (dua) orang anak perempuan.
8. Menurunkan bagian masing-masing ahli waris berdasarkan bagian orang tuanya.

3. Tingkat Kasasi
Setelah menerima putusan banding dari Pengadilan Tinggi Agama Mataram, tergugat asal mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mereka merasa tidak puas dengan putusan pada tingkat banding.
Alasan-alasan diajukan kasasi oleh tergugat asal adalah sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah keliru dalam memberikan pertimbangan, meskipun tanah-tanah kebun sengketa tersebut telah dibalik namakan kepada Le Putahimah dan telah memperoleh Pipil Garuda namun karena pada waktu meninggalnya Amaq Nawiyah masih menjadi miliknya, maka tanah sengeketa tersebut adalah merupakan peninggalan Amaq Nawiyah yang diwariskan kepada ahli warisnya adalah pertimbangan yang kabur, karena bertentangan dengan bukti-bukti bahwa kenyataannya objek sengketa telah terdaftar sebagai tanah milik Le Putrahimah sejak tahun 1957 tanpa dapat dibuktikan bahwa pendaftaran pemilikannya tersebut adalah cacat hukum.
2. Pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa tanah kebun sengketa masih merupakan tanah syarikat antara ahli waris adalah merupakan kenyataan yang tidak didukung bukti-bukti yang kuat hingga tidak sesuai Pasal 62 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tegas menyatakan bahwa tanggal penetapan dan putusan pengadilan selain harus membuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
3. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah salah dalam menerapkan hukum karena telah mendudukan Amaq Itrawan yang meninggal dunia pada tahun 1930 sebagai ashabah yang mana adanya Le Putrahimah (Pemohon kasasi/Tergugat asal II) sebagai anak dari Amaq Nawiyah kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan pamannya selaku ahli waris yang sama-sama menerima warisan dari pewaris.
4. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam jatuhkan putusannya tidak sesuai dengan hukum acara pasal 189 R.Bg ayat 3 yakni larangan jatuhkan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung membenarkan keberatan tergugat asal bahwa Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah salah menerapkan hukum. Mahkamah Agung berpendapat selama masih ada anak baik laki-laki maupun perempuan maka hak waris dari orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami, dan isteri menjadi tertutup (terhijab). Oleh karena itu, dalam perkara ini karena adanya tergugat asal (anak perempuan) maka penggugat asal menjadi tertutup (terhijab) untuk mendapat warisan.
Berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung dalam amar putusannya pada tanggal 27 Juli 1995 No. 86 K/AG/1994 mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/tergugat asal dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram tanggal 15 September 1993 bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Awal 1414 H No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr..
C. Analisis
Menurut analisa penulis, para penggugat asal sebagaimana tersebut dalam gugatannya di Pengadilan Agama Mataram merasa memiliki hak atas harta warisan Amaq Nawiyah. Dalih mereka adalah bahwa kakek mereka Amaq Itrawan (saudara laki-laki Amaq Nawiyah) berhak menjadi ahli waris, dikarenakan Amaq Nawiyah hanya meninggalkan 1 (satu) anak perempuan. Sehingga Amaq Itrawan berhak mendapatkan ashabah.
Dalam fikih, anak perempuan memperoleh bagian setengah jika memenuhi 2 (dua) syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan anak laki-laki yang menjadi mu’ashib-nya ahli waris yang menarik ahli waris lain menjadi ashabah. Kedua, tidak bersama-sama dengan anak perempuan lainnya. Dengan kata lain, dia hanya sendiri. Dalil warisan untuk anak perempuan yang memperoleh bagian setengah dengan kedua syarat di atas, yaitu firman Allah swt., “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (al-Nisa [4]: 11).
Dalam ilmu faraidh dikenal istilah al-Hajb. Dalam bahasa Arab artinya al-man’u terhalang. Dalam ilmu fikih, definisi al-hajb ialah menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian. Al-Hajb ada 2 (dua) macam, yaitu hajb al-nuqshan dan hajb al-hirman. Jika diperinci, ahli waris yang terhalang secara hajb al-hirman ada 19 orang, yang terdiri dari ahli waris laki-laki 12 orang dan ahli waris perempuan 7 orang. Salah satu ahli waris laki-laki yang terhalang secara hajb al-hirman adalah saudara kandung, mereka terhalang oleh 3 (tiga) orang, yaitu anak, bapak, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ini adalah ijma ulama. Maksud anak disini bermakna umum, laki-laki maupun perempuan.
Pengadilan Agama Mataram dalam memutus perkara ini memeriksa terlebih dahulu objek sengketa. Berdasarkan fakta yang ada ternyata tanah warisan Amaq Nawiyah telah dibaliknamakan atas nama anaknya Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah sebelum ia meninggal. Maka secara hukum, tanah tersebut telah sah menjadi miliknya. Oleh karena itu, majelis menolak gugatan para penggugat asal.
Sebuah harta akan disebut harta warisan bila pemiliknya meninggal dunia. Salah satu syarat waris adalah meninggalnya pewaris. Dalam perkara ini ternyata di saat Amaq Nawiyah meninggal, tanah miliknya telah dialihkan kepemilikannya kepada anaknya, terbukti secara tertulis dalam surat kepemilikan tanah. Sehingga dengan meninggalnya Amaq Nawiyah tidak menjadikan tanah dimaksud menjadi harta warisan.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram menurut penulis adalah keliru. Alasan adanya harta syarikat dalam tanah tesebut tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Dalam kenyataannya tanah tersebut milik penuh Amaq Nawiyah yang kemudian dialihkan kepemilikannya kepada anaknya. Amaq Itrawan sebagai saudaranya hanya mengelola tanah tersebut dikarenakan saat Amaq Nawiyah meninggal, anaknya masih kecil sehingga belum mampu mengelola tanah tersebut.
Dalam kasasi pun, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Agama Mataram. Kaidah hukum yang digunakan Mahkamah Agung adalah “Selama masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami, dan isteri menjadi tertutup (terhijab)”.
Bila merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan dapat ditemukan Pasal 174 sebagai berikut:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dalam pasal 174 di atas jelas terutama pada ayat (2) bahwa saudara laki-laki menjadi terhalang (terhijab) karena adanya anak, baik laki-laki maupun perempuan.

D. Penutup
Perkara waris kadang memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Adakalanya apa yang sudah diatur dalam ilmu faraid menjadi lebih rumit saat terjadi di masyarakat. Maka benar ada sebuah ungkapan yang mengatakan law in the books is not law in the action. Sehingga seorang hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara harus cermat agar keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai di masyarakat.
Berdasarkan perkara ini dapat penulis simpulkan bahwa kadang terjadi putusan di tingkat pertama berbeda dengan putusan di tingkat banding dan/atau kasasi. Kadangkala juga dapat saling menguatkan. Kalau dalam istilah sistem hukum anglo saxon ada istilah the judge made law, maka dalam sistem hukum sipil dikenal dengan istilah rechtsvinding (penemuan hukum). Tegasnya hakim bukan hanya bertugas melaksanakan undang-undang, tetapi menemukan hukum dari undang-undang. Selain itu, hakim memutus berdasarkan fakta-fakta yang ada dan diyakini kebenarannya.
Analisa yang penulis lakukan masih sangat sederhana, bahkan perlu untuk dikritik dan diperbaiki. Namun paling tidak penulis sudah berusaha melakukan sebuah analisa yurisprudensi demi meningkatkan daya kritis terhadap hukum.















DAFTAR PUSTAKA

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Buku III tentang Hukum Kewarisan.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris. Alih Bahasa: Addys Aldizar dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, Cet. Ke-4.
Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1998.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar