Pages

Jumat, 24 Februari 2012

Hak-hak Perdata Anak Zina dan Putusan MK


Oleh Dr. H. M. Nurul Irfan, S. Ag ,M.Ag
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta sekaligus sebagai saksi ahli pada upaya  yudicial review UU No 1I Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi)

Ibarat makan buah simalakama, permohonan Uji materi UU perkawinan ini, jika tidak dikabulkan salah, dikabulkan juga  bisa salah. Putusan MK ternyata menuai Pro kontra di masyarakat. Jika pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tidak diubah, masih  akan banyak anak-anak luar nikah yang berpotensi menjadi anak terlantar dan terdzalimi lahir batin.  Tetapi ternyata setelah diketok palu  oleh ketua MK terkait pasal ini  lembaga hukum paling  bergengsi di Indonesia ini  justru  dapat dianggap  melegalisasi perzinaan. Penulis sebagai saksi ahli dalam perkara ini harus ikut berbicara, walau sebatas tulisan. Penulis harus menegaskan ulang pada artikel singkat ini  bahwa MK tidak melegalkan perzinaan. MK telah berhasil melakukan ijtihad dan keputusannya bersifat mengikat. Bahkan benar atau salah sebuah ijtihad tetap mendapatkan ganjaran.  Namun jika sebagian masyarakat memiliki tuduhan miring terhadap putusan ini tentu hal ini sangat bisa difahami. Oleh sebab itu agar putusan ini tetap bisa dilaksanakan dan agar tetap  membawa kemaslahatan bagi umat, maka sebaiknya walupun anak luar nikah akibat zina tetap dianggap memiliki hubungan perdata dengan ayah bilogisnya dan keluarga ayahnya,  pada saat anak tersebut akan menikah –kalau  ia wanita- akan sangat baik jika tetap menggunakan wali hakim. Demikian  halnya proses pemindahan harta peninggalan bapak biologisnya, sebaiknya tidak dinamakan sebagai warisan, melainkan dengan istilah hibah, hadiah, wasiat atau sedekah.Sebab menurut hukum Islam syarat untuk bisa menjadi wali, harus ada hubungan nasab antara calon mempelai wanita dengan ayah kandungnya. Demikian halnya untuk bisa saling mewarisi harus terdapat hubungan nasab antara pihak pewaris dan ahli waris.  Hal ini penulis kemukakan  sebagai sebuah solusi bijak dan logis.  Tentu ucapan Selamat kepada MK yang telah mengeluarkan putusan  spektakuler,ini penulis sampaikan.  Dengan putusan ini banyak anak-anak Indonesia yang lahir di luar nikah, khususnya dalam kasus nikah sirri merasa lega. Banyak juga kaum wanita korban sebagian kaum  laki-laki yang akan semakin terlindungi secara konstitusi dengan dikeluarkannya putusan ini. Bahkan sejak saat ini tidak akan ada lagi istilah dan sebutan anak haram atau anak zina, karena memang hal itu tidak sebaiknya diberikan kepada anak-anak yang lahir bersih tanpa menanggung beban dosa turunan dari kedua orang tuanya. 
 
Putusan MK yang cukup membuat para pemerhati dan pelaksana hukum Islam di Indonesia  ini mengerutkan kening ialah  bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.  Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Penyebab timbulnya polemik bagi kalangan masyarakat tertentu di negeri ini adalah rumusan pasal 43 ayat (1)  UU Perkawinan yang mana setelah putusan MK ini harus dibaca seperti rumusan semula,  di mana dari sisi hukum Islam  rumusan semula itu tidak ada masalah,  tetapi tiba-tiba ditambah dengan satu kalimat agak panjang yang akibatnya memiliki kesan bahwa anak  yang dilahirkan di luar perkawinan, baik karena kawin yang tidak dicatat, karena nikah sirri, atau  di luar perkawinan karena perzinaan, perselingkuhan bahkan dalam kasus semen leven  atau kumpul kebo tetap  dapat memiliki hubungan  perdata dengan ibunya, keluarga ibunya, ayahnya dan keluarga ayahnya.  
Jika istilah anak luar nikah sebagaimana rumusan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan  itu hanya terbatas pada nikah sirri, nikah di bawah tangan atau bahkan nikah kontrak bagi sebagian kalangan, maka dipastikan tidak akan ada masalah serius yang dirisaukan oleh banyak pihak.  Namun pada saat memahami cakupan makna“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan” Itu merambah pula pada anak  yang dilahirkan akibat perzinaan, di sinilah “keributan” bertalu-talu sampai pada telinga bahkan hati kita. Sebab anak yang dilahirkan  dalam kasus perzinaan, atas dasar hadis Nabi riwayat Muslim, Ibnu Majjah al-Baihaqi, al-Tirmidzi Abu Dawud dan lain -lain yang artinya anak menjadi hak (baca: bernasab kepada ) pemilik tempat tidur  atau suami yang menikahi ibunya secara sah, sedangkan pezina hanya memiliki batu hukuman.
Pada saat mengomentari hadis  tentang pemilik ranjang sang istri dan sanksi hukum bagi pelaku zina ini, Imam al-Suyuti mengatakan bahwa seorang pezina tidak mungkin berhak atas anak, artinya zina tidak mungkin dibernarkan dalam menetapkan nasab, sebab hak memperoleh hubungan nasab atau kekerabatan itu dimiliki oleh pemilik tempat tidur yaitu suami atau pemilik seorang hamba sahaya, (penulis: tidak termasuk TKW). Pemilik ranjang yang sah ini adalah suami atau sang majikan (penulis: zaman dulu ketika masih ada perbudakan). Sedangkan bagi pezina hanya layak memperoleh kesialan dan hukuman.
Syarah dan keterangan lengkap seperti apa yang dikemukakan oleh al-Suyuti inilah yang menjadi bahan pertimbangan  atau bahkan bahan kerisauan banyak pihak dalam mempertanyakan  keabsahan putusan MK ditinjau dari segi hukum Islam yang murni dari Nabi Muhammad SAW. Bukan hukum yang secara kebetulan banyak diterima oleh Negara yang mayoritas warganya  beragama Islam seperti   Republik tercinta ini. Di sini penulis yang juga ikut mengkawal lahirnya putusan MK yang spektakuler ini ingin menegaskan bahwa UU No 1 Tahun 1974 termasuk  Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya bukan sebagai hukum Islam murni, namun lebih sebagai hukum yang banyak diambil dari sumber-sumber ajaran Islam dan dipadukan dengan tradisi serta kondisi negeri ini. Oleh sebab itu kalau di sana-sini masih ada benturan-benturan dengan teks kaegamaan berupa nash Alquran dan Hadis, tampaknya sangat bisa dimengerti.
Kalimat terakhir dalam paragraf di atas penulis kemukakan, sebab harus diakui bahwa jauh sebelum putusan MK yang mengundang polemik terkait anak luar nikah ini diputuskan, ada beberapa rumusan pasal baik dalam bentuk kalimat utuh maupun berupa panafsiran atas suatu pasal, yang tampak jelas berseberangan dengan  nash Alquran atau hadis. Eksistensi gono-gini, perjanjian pranikah, wasiat wajibah atau yang lebih familier dengan istilah ahli waris pengganti  dalam  KHI dan status anak sah pada rumusa pasal 42 UU Perkawinan merupakan  contoh-contoh  konkrit tentang corak “hukum  Islam” yang bisa diterima oleh mayoritas umat muslim di negeri ini yang  pada dasarnya masih debatable. Namun selama ini pada “anteng-anteng” (baca tenang-tenang) saja, tidak seperti putusan MK yang memang ada bumbu artis dan mantan pejabatnya yang kini sudah alm.
Sebagai penutup artikel  singkat ini penulis tegaskan sekali lagi bahwa anak  yang dilahirkan di luar perkawinan, baik karena kawin yang tidak dicatat, karena nikah sirri, atau  tidak melalui jalur  perkawinan seperti anak yang lahir karena perzinaan, perselingkuhan bahkan dalam kasus semen leven   tetap  dapat mempunyai  hubungan  perdata dengan ibunya, keluarga ibunya, ayahnya dan keluarga ayahnya, sungguh akan membuat masyarakat dan umat resah. Oleh sebab itu kata “mempunyai  hubungan perdata”  hendaknya jangan hanya  difahami dengan hak perwalian dan hak kewarisan. Tetapi harus difahami secara luas, lebih dari pada sekedar kedua macam hak ini. Yaitu  antara lain meliputi hak-hak perdata anak kepada bapak biologisnya, hak perdata bapak kepada anak bilogisnya, hak perdata ibu kepada anak kandungnya dan hak perdata anak kepada ibu kandungnya serta hak perdata anak kepada keluarga ibunya dan keluarga bapak bilogisnya. Hak-hak perdata ini bisa berupa hak nafkah, hak memperoleh perlindungan, hak memperoleh perhatian, hak pengasuhan, hak memperoleh kasih sayang, hak anak untuk memperoleh biaya pendidikan, pengobatan dan seabreg hak perdata lain,  yang jelas-jelas  bukan hanya hak perwalian dan kewarisan saja.

Terhadap kedua hak terpenting ini, jika kebelutan anak di luar nikah itu adalah anak zina yang berjenis kelamin wanita, maka hak untuk menikahkan anak luar nikah jenis yang satu ini hendaknya tetap menggunakan wali hakim agar keabsahan pernikahannya tetap bisa dijaga dan dipertahankan dari perspektif hukum Islam murni produk Nabi Muhammad SAW. Demikian halnya pada saat anak luar nikah ini adalah anak zina, maka proses pemindahan harta benda peninggalan dari bapak biologis  kepada anak biologis dan sebaliknya, alangkah baik dan bijaknya jika sekiranya tidak dinamakan warisan, melainkan bisa dengan nama hibah, hadiah, sedekah atau wasiat. Sebab salah satu syarat untuk bisa memperoleh warisan menurut hukum Islam yang murni, sekali lagi hukum Islam yang asli dari Nabi Muhammad SAW. adalah adanya hubungan nasab antara anak dengan bapak.  Sedangkan nasab sangat tidak mungkin dibentuk melalui perzinaan, perselingkuhan dan atau kumpul kebo.  Semoga  putusan MK tentang status anak di luar nikah ini bisa membawa maslahat,  terhindar dari berbagai fitnah dan  mafsadat. Amin Ya Rabbal’alamin Wallahu a’lam bissawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar