Oleh Dr. H. M. Nurul Irfan, S. Ag ,M.Ag
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta sekaligus sebagai saksi
ahli pada upaya yudicial review UU No 1I
Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi)
Ibarat makan buah simalakama, permohonan Uji
materi UU perkawinan ini, jika tidak dikabulkan salah, dikabulkan juga bisa salah. Putusan MK ternyata menuai Pro
kontra di masyarakat. Jika pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tidak diubah,
masih akan banyak anak-anak luar nikah
yang berpotensi menjadi anak terlantar dan terdzalimi lahir batin. Tetapi ternyata setelah diketok palu oleh ketua MK terkait pasal ini lembaga hukum paling bergengsi di Indonesia ini justru dapat dianggap
melegalisasi perzinaan. Penulis sebagai saksi ahli dalam perkara ini
harus ikut berbicara, walau sebatas tulisan. Penulis harus menegaskan ulang
pada artikel singkat ini bahwa MK tidak
melegalkan perzinaan. MK telah berhasil melakukan ijtihad dan keputusannya
bersifat mengikat. Bahkan benar atau salah sebuah ijtihad tetap mendapatkan
ganjaran. Namun jika sebagian masyarakat
memiliki tuduhan miring terhadap putusan ini tentu hal ini sangat bisa
difahami. Oleh sebab itu agar putusan ini tetap bisa dilaksanakan dan agar
tetap membawa kemaslahatan bagi umat,
maka sebaiknya walupun anak luar nikah akibat zina tetap dianggap memiliki
hubungan perdata dengan ayah bilogisnya dan keluarga ayahnya, pada saat anak tersebut akan menikah –kalau ia wanita- akan sangat baik jika tetap
menggunakan wali hakim. Demikian halnya
proses pemindahan harta peninggalan bapak biologisnya, sebaiknya tidak
dinamakan sebagai warisan, melainkan dengan istilah hibah, hadiah, wasiat atau
sedekah.Sebab menurut hukum Islam syarat untuk bisa menjadi wali, harus ada
hubungan nasab antara calon mempelai wanita dengan ayah kandungnya. Demikian
halnya untuk bisa saling mewarisi harus terdapat hubungan nasab antara pihak
pewaris dan ahli waris. Hal ini penulis
kemukakan sebagai sebuah solusi bijak
dan logis. Tentu ucapan Selamat kepada MK
yang telah mengeluarkan putusan
spektakuler,ini penulis sampaikan. Dengan putusan ini banyak anak-anak Indonesia yang
lahir di luar nikah, khususnya dalam kasus nikah sirri merasa lega. Banyak juga
kaum wanita korban sebagian kaum
laki-laki yang akan semakin terlindungi secara konstitusi dengan
dikeluarkannya putusan ini. Bahkan sejak saat ini tidak akan ada lagi istilah
dan sebutan anak haram atau anak zina, karena memang hal itu tidak sebaiknya
diberikan kepada anak-anak yang lahir bersih tanpa menanggung beban dosa
turunan dari kedua orang tuanya.
Putusan MK yang cukup membuat para pemerhati dan
pelaksana hukum Islam di Indonesia ini mengerutkan
kening ialah bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya. Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Penyebab timbulnya polemik bagi
kalangan masyarakat tertentu di negeri ini adalah rumusan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang mana setelah putusan MK ini
harus dibaca seperti rumusan semula, di
mana dari sisi hukum Islam rumusan
semula itu tidak ada masalah, tetapi tiba-tiba
ditambah dengan satu kalimat agak panjang yang akibatnya memiliki kesan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan,
baik karena kawin yang tidak dicatat, karena nikah sirri, atau di luar perkawinan karena perzinaan,
perselingkuhan bahkan dalam kasus semen leven atau kumpul kebo tetap dapat memiliki hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya,
ayahnya dan keluarga ayahnya.
Jika istilah anak luar nikah
sebagaimana rumusan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan itu hanya terbatas pada nikah sirri, nikah di
bawah tangan atau bahkan nikah kontrak bagi sebagian kalangan, maka dipastikan
tidak akan ada masalah serius yang dirisaukan oleh banyak pihak. Namun pada saat memahami cakupan makna“Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan” Itu merambah pula pada anak yang dilahirkan akibat perzinaan, di sinilah
“keributan” bertalu-talu sampai pada telinga bahkan hati kita. Sebab anak yang
dilahirkan dalam kasus perzinaan, atas
dasar hadis Nabi riwayat Muslim, Ibnu Majjah al-Baihaqi, al-Tirmidzi Abu Dawud
dan lain -lain yang artinya anak menjadi hak (baca: bernasab kepada ) pemilik
tempat tidur atau suami yang menikahi
ibunya secara sah, sedangkan pezina hanya memiliki batu hukuman.
Pada saat mengomentari hadis tentang pemilik ranjang sang istri dan sanksi
hukum bagi pelaku zina ini, Imam al-Suyuti mengatakan bahwa seorang pezina
tidak mungkin berhak atas anak, artinya zina tidak mungkin dibernarkan dalam
menetapkan nasab, sebab hak memperoleh hubungan nasab atau kekerabatan itu
dimiliki oleh pemilik tempat tidur yaitu suami atau pemilik seorang hamba
sahaya, (penulis: tidak termasuk TKW). Pemilik ranjang yang sah ini adalah
suami atau sang majikan (penulis: zaman dulu ketika masih ada perbudakan).
Sedangkan bagi pezina hanya layak memperoleh kesialan dan hukuman.
Syarah dan keterangan lengkap
seperti apa yang dikemukakan oleh al-Suyuti inilah yang menjadi bahan
pertimbangan atau bahkan bahan kerisauan
banyak pihak dalam mempertanyakan
keabsahan putusan MK ditinjau dari segi hukum Islam yang murni dari Nabi
Muhammad SAW. Bukan hukum yang secara kebetulan banyak diterima oleh Negara
yang mayoritas warganya beragama Islam
seperti Republik tercinta ini. Di sini
penulis yang juga ikut mengkawal lahirnya putusan MK yang spektakuler ini ingin
menegaskan bahwa UU No 1 Tahun 1974 termasuk
Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya bukan sebagai hukum Islam
murni, namun lebih sebagai hukum yang banyak diambil dari sumber-sumber ajaran
Islam dan dipadukan dengan tradisi serta kondisi negeri ini. Oleh sebab itu
kalau di sana-sini masih ada benturan-benturan dengan teks kaegamaan berupa
nash Alquran dan Hadis, tampaknya sangat bisa dimengerti.
Kalimat terakhir dalam paragraf di
atas penulis kemukakan, sebab harus diakui bahwa jauh sebelum putusan MK yang
mengundang polemik terkait anak luar nikah ini diputuskan, ada beberapa rumusan
pasal baik dalam bentuk kalimat utuh maupun berupa panafsiran atas suatu pasal,
yang tampak jelas berseberangan dengan
nash Alquran atau hadis. Eksistensi gono-gini, perjanjian pranikah,
wasiat wajibah atau yang lebih familier dengan istilah ahli waris
pengganti dalam KHI dan status anak sah pada rumusa pasal 42
UU Perkawinan merupakan
contoh-contoh konkrit tentang
corak “hukum Islam” yang bisa diterima
oleh mayoritas umat muslim di negeri ini yang pada dasarnya masih debatable. Namun selama
ini pada “anteng-anteng” (baca tenang-tenang) saja, tidak seperti putusan MK
yang memang ada bumbu artis dan mantan pejabatnya yang kini sudah alm.
Sebagai penutup artikel singkat ini penulis tegaskan sekali lagi
bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, baik karena kawin yang tidak dicatat, karena nikah sirri, atau tidak melalui jalur perkawinan seperti anak yang lahir karena
perzinaan, perselingkuhan bahkan dalam kasus semen leven tetap
dapat mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya,
ayahnya dan keluarga ayahnya, sungguh akan membuat masyarakat dan umat resah.
Oleh sebab itu kata “mempunyai hubungan
perdata” hendaknya jangan hanya difahami dengan hak perwalian dan hak kewarisan.
Tetapi harus difahami secara luas, lebih dari pada sekedar kedua macam hak ini.
Yaitu antara lain meliputi hak-hak
perdata anak kepada bapak biologisnya, hak perdata bapak kepada anak
bilogisnya, hak perdata ibu kepada anak kandungnya dan hak perdata anak kepada
ibu kandungnya serta hak perdata anak kepada keluarga ibunya dan keluarga bapak
bilogisnya. Hak-hak perdata ini bisa berupa hak nafkah, hak memperoleh
perlindungan, hak memperoleh perhatian, hak pengasuhan, hak memperoleh kasih
sayang, hak anak untuk memperoleh biaya pendidikan, pengobatan dan seabreg hak
perdata lain, yang jelas-jelas bukan hanya hak perwalian dan kewarisan saja.
Terhadap kedua hak terpenting ini, jika
kebelutan anak di luar nikah itu adalah anak zina yang berjenis kelamin wanita,
maka hak untuk menikahkan anak luar nikah jenis yang satu ini hendaknya tetap
menggunakan wali hakim agar keabsahan pernikahannya tetap bisa dijaga dan
dipertahankan dari perspektif hukum Islam murni produk Nabi Muhammad SAW.
Demikian halnya pada saat anak luar nikah ini adalah anak zina, maka proses
pemindahan harta benda peninggalan dari bapak biologis kepada anak biologis dan sebaliknya, alangkah
baik dan bijaknya jika sekiranya tidak dinamakan warisan, melainkan bisa dengan
nama hibah, hadiah, sedekah atau wasiat. Sebab salah satu syarat untuk bisa
memperoleh warisan menurut hukum Islam yang murni, sekali lagi hukum Islam yang
asli dari Nabi Muhammad SAW. adalah adanya hubungan nasab antara anak dengan
bapak. Sedangkan nasab sangat tidak
mungkin dibentuk melalui perzinaan, perselingkuhan dan atau kumpul kebo. Semoga putusan MK tentang status anak di luar nikah
ini bisa membawa maslahat, terhindar dari berbagai fitnah dan mafsadat. Amin Ya Rabbal’alamin Wallahu a’lam
bissawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar