Abstrak
Putusan
Mahkamah Konstitusi Jumat 17 Februari 2012 terakit anak luar nikah yang
disebutakan dalam pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan
bahwa "anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya". Perubahan pasal ini harus difahami secara obyektif dan bijak
agar membawa maslahat bagi umat dan bukan sebaliknya. Perubahan ini bukan
berarti MK melegalisasi perzinaan dan prostitusi, melainkan MK berupaya untuk
menuangkan hasil ijtihadnya agar anak-anak yang lahir di luar nikah tetap
memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan anak-anak lain dan agar tidak
terjadi perlakuan diskriminatif terhadap anak-anak tak berdosa ini. Pascaputusan
MK ini sebagian kaum lelaki yang melakukan pernikahan sirri, melakukan
perzinaan, perselingkuhan maupun semen leven (kumpul kebo) hingga wanita
partnernya itu hamil dan melahirkan anak, tetap harus bertanggungjawab atas
kebutuhan lahir batin anak yang lahir
akibat perbuatannya. Dengan demikian, hak hidup anak sebagaimana diamanatkan
oleh asal
27 ayat (1) dan pasal 28B ayat (2) serta pasal
28I ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi atas dasar
apapun benar-benar dapat direalisasikan.
Kata kunci : Anak
luar nikah, legalisasi zina, nasab dan
qiyafah
PENDAHULUAN
Dalam
rumusa pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal ini mengakui secara hukum bahwa perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ajaran agama adalah sah. Namun apabila melihat rumusan
ayat berikutnya yang menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka akan berakibat pada pemahaman
lain. Yaitu bahwa rumusan satu pasal bisa menimbulkan dua pemahaman. Di satu
sisi, perkawinan secara agama yang telah memenuhi lima syarat yaitu adanya ijab qabul, calon pengantin pria, calon
pengantin wanita, dua orang saksi dan wali dari pihak wanita dianggap sah oleh
undang-undang, tetapi di sisi lain, pada saat perkawinan dilakukan secara agama
dengan syarat dan rukun yang telah terpenuhi semuanya dianggap tidak memiliki
kekuatan hukum sehingga berakibat pada perlakuan diskriminatif pada anak yang
dilahirkan.
Perlakuan diskriminatif ini
akan dirasakan oleh anak bahkan juga oleh istri jika di kemudian hari
terjadi berbagai hal yang tidak diinginkan. Khususnya bila dikaitkan dengan
rumusan pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bahkan dalam akte
kelahiran, hanya akan disebutkan nama
ibu kandung yang melahirkannya dan tidak akan pernah memiliki ayah kandung,
dengan berbagai konsekwensi lahiriah lain yang sangat berat harus ditanggung
oleh anak, termasuk beban psikologis tanpa memiliki ayah kandung.
Hal ini merupakan sebuah perlakukan diskrimatif terhadap
anak, rumusan pasal 2 ayat (2) UU no 1 Tahun 1974 jelas–jelas mengakui bahwa perkawinan secara agama itu sah, tetapi ia
hanya akan memperoleh hubungan kekerabatan kepada ibunya, karena lahir di luar
nikah hanya karena tidak dicatat. Rumusan pasal-pasal di atas jelas
bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28B ayat (2) serta pasal
28I ayat (2) UUD 1945. Pasal-pasal ini menyebutkan bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi atas dasar apapun. Tentu saja seorang anak juga
tidak boleh diperlalukan secara diskrinatif sekedar atas dasar rumusan pasal
yang kontradiktif dan ambigu bahkan atas dasar agama sekalipun. Pasal-pasal inilah yang diperjuangkan oleh pihak
pemohon, Machicha Muhtar untuk
diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi dan akhirnya MK mengabulkan permohonannya
hingga menimbulkan pro kontra masalah status anak luar nikah yang dianggap
sebagai anak sah, bahkan ada yang berkomentar Putusan MK ini bisa dianggap
sebagai factor tumbuhnya praktik prostitusi dan perzinaan di Indonesia .
Pasal
43 ayat 1 undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Rumusan pasal ini dalam sidang MK Jumat 17 Februari 2012
diubah dengan "anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya".
Dalam
keterangan lisannya ketua MK menyatakan bahwa pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974
tentang Perkawinan yang berbunyi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", mulai
saat ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Jika
tambahan rumusan pasal itu difahami hanya
dari sudut pandang kalimat semata-mata, maka akan sangat wajar jika
akhirnya menuai pro dan kontra di masyarakat. Oleh sebab itu
pemahaman secara runtut dan komprehensif sangat dibutuhkan agar tidak salah
faham yang akan membawa kepada berbagai masalah yang justru akan menimbulkan
mafsadah bukan maslahat bagi umat. Meminjam istilah ulumul qur’an dan ulumul
hadis, rumusan pasal tambahan ini harus dikaitkan dengan sababun nuzul
atau sababul wurud yang melatarbelakanginya. Dalam tulisan singkat ini
penulis akan mencoba untuk mengemukakan hal-hal mendasar terkait latar belakang
diputuskannya rumusan pasal tambahan ini, dikaitkan dengan konsep penetapan hubungan darah atau nasab
dalam hukum Islam dan makna serta urgensi
sebuah ijtihad hakim bagi
kemaslahatan kehidupan masyarakat menurut hukum Islam lalu perlu ada solusi bijak terkait perubahan pasal dimaksud.
PEMBAHASAN
A. Alasan-alasan Permohonan Uji Materiil
UU Perkawinan
Sejumlah alasan yang diajukan oleh pihak pemohon
dalam permohonan uji meteriil UU
Perkawinan ini dikemukakan bahwa pemohon merupakan pihak yang secara
langsung mengalami dan merasakan
hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1).
Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan
kerugian bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum
anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan.[1]
Alasan
berikutnya bahwa hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan
tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) danPasal 28B
ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945
tersebut. Pasal-pasal poko dalam UUD 1945 yang terkait hak asasi manusia itu
merupakan alasan kuat bahwa pihak pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional
untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Sebab
ternyata hak konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh
norma hukum dalam UU Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan
karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam.
Merujuk ke norma konstitusional yang
termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun
nikah adalah sah tetapi
terhalang oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.[2]
Dari
rumusan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan di atas, bisa diketahui bahwa norma
hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang sah dan
sesuai dengan rukun nikah agama Islam (norma agama) menjadi tidak sah menurut
norma hukum. Kemudian secara otomatis hal ini berdampak kepada status anak yang dilahirkan Pemohon ikut
tidak menjadi sah menurut norma hukum dalam UU Perkawinan. Jadi, jelas telah
terjadi pelanggaran oleh norma hukum dalam UU Perkawinan terhadap perkawinan
Pemohon (norma agama). Hal senada
juga disampaikan oleh Van Kan :yang
menyatakan bahwa “Kalau
pelaksanaan norma-norma hukum
tersebut tidak mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain, yang sedapat mungkin
mendekati apa yang dituju norma-norma
hukum yang bersangkutan atau menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum itu.”[3]
Pihak pemohon berusaha keras untuk mengajukan uji
materiil ke Mahkamah Konstitusi dengan mengemukakan bahwa
konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah
setiap orang memiliki kedudukan
dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan status hukum
anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan
hukum. Tidak ada diskriminasi
dalam penerapan norma hukum terhadap setiap orang disebabkan cara
pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak yang dilahirkan
dari pemikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak diperlakukan berbeda. Tetapi, dalam
praktiknya justru norma agama telah
diabaikan oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan
rukun nikah dan norma
agama Islam, menurut norma hukum menjadi tidak sah karena tidak tercatat menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
Akibatnya,
demikian alasan lebih lanjut yang diajukan oleh pihak pemohon, pemberlakuan
norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari
perkawinan Pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum
dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif
ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di
muka hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD 1945 dinyatakan anak
terlantar saja, yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara.
Tetapi kenyataannya hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak pemohon yang
dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah dan norma agama
justru dianggap tidak sah oleh UU Perkawinan. Konstitusi Republik Indonesia tidak
menghendaki sesuatu yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap
melanggar hukum berdasarkan norma hukum. Bukankah hal ini merupakan pelanggaran
oleh norma hukum terhadap norma agama; ? demikian pihak pemohon berupaya
meyakinkan para hakim Mahkamah Konstitusi.[4]
Selanjjutnya
dikemukakan berbagai argumentasi kuat oleh pihak pemohon bahwa dalam
kedudukannya sebagaimana diterangkan di
atas, maka telah terbukti Pemohon memiliki hubungan sebab-akibat (causal
verband) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya UU Perkawinan,
khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1), yaitu yang berkaitan dengan
pencatatan perkawinan dan hubungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang tidak dicatatkan. Telah terjadi pelanggaran atas hak konstitusional
Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia, karena Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini mengakibatkan pemikahan
Pemohon yang telah dilakukan secara sah
sesuai dengan agama yang dianut Pemohon,
yaitu agama Islam, tidak mendapatkan kepastian hukum sehingga
menyebabkan pula anak hasil
pemikahan Pemohon juga tidak mendapatkan kepastian hukum pula; Jelas hak konstitusional dari anak telah diatur
dan diakui dalam Pasal 28B ayat
(2)[5].
UUD 1945. UUD 1945 jelas-jelas menjamin dan melindungi hak-hak
anak, tetapi kenyataannya sejak Iahirnya anak Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatif yaitu dengan
dihilangkannya asal-usul dari anak Pemohon dengan hanya mencantumkan nama
Pemohon dalam Akta Kelahirannya dan negara telah
menghilangkan hak anak untuk
kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang karena dengan hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibunya menyebabkan suami dari Pemohon tidak mempunyai kewajiban hukum
untuk memelihara, mengasuh
dan membiayai anak Pemohon. Tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan
dan diperlakukan diskriminatif
karena cara pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya berbeda tetapi sah menurut ketentuan norma
agama. Dan, anak tersebut adalah
anak yang sah secara hukum dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum; Kenyataannya
maksud dan tujuan diundangkannya UU Perkawinan berkaitan
pencatatan perkawinan dan anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap
sebagai anak di luar perkawinan
sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Kenyataan ini telah memberikan ketidakpastian secara hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan yang
tumbuh dan hidup di masyarakat,
sehingga merugikan pihak Pemohon.[6]
Dengan pernyataan
yang sangat meyakinkan pihak pemohon mengemukakan bahwa kelahiran anak Pemohon
ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab, tetapi sebagai hasil
hubungan kasih-sayang antara kedua orang tuanya (Pemohon dan suaminya), namun
akibat dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, menyebabkan suatu
ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya. Hal
tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya.
Juga menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarenakan
tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas
kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan,
ketakutan dan ketidaknyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat.
Dengan
demikian, nyata-nyata bahwa pihak Pemohon secara objektif mengalami kerugian
materi atau finansial, yaitu Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan
Pemohon serta untuk membiayai dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak.
Hal ini disebabkan adanya ketentuan dalam UU Perkawinan yang mengakibatkan tidak
adanya kepastian hukum atas pernikahan pemohon dan anak yang dihasilkan dari
pemikahan tersebut. Akibatnya, pemohon tidak bisa menuntut hak atas kewajiban
suami memberikan nafkah lahir dan batin serta biaya untuk mengasuh dan
memelihara anak.[7]
Tegasnya,
demikian pihak pemohon mengajukan argumentasinya, UU Perkawinan tidak
mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dan secara objektif-empiris telah
memasung hak konstitusional pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia
untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, ketakutan, dan
diskriminasi terkait pernikahan dan status hukum anaknya. Bukankah Van
Apeldoorn dalam bukunya Incleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum
menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap yang
merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan manusia
selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini
selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak
diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan
antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap orang harus memperoleh
sedapat mungkin yang menjadi haknya.[8]
Lebih lanjut pihak pemohon berusaha mengemukakan berbagai
alasan yuridis bahwa norma konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945
salah satunya mengandung tujuan hukum. Tujuan
hukum dapat ditinjau dari teori etis (etische theorie) yang menyatakan
hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Kelemahannya adalah
peraturan tidak mungkin dibuat untuk mengatur setiap orang dan setiap kasus,
tetapi dibuat untuk umum, yang sifatnya abstrak dan hipotetis. Dan, kelemahan
lainnya adalah hukum tidak selalu mewujudkan keadilan. Di sisi lain, menurut
teori utilitis (utilities theorie), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata
apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan
sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kelemahannya adalah hanya
memperhatikan hal-hal umum, dan terlalu individualistis, sehingga tidak
memberikan kepuasan bagi perasaan hukum. Teori selanjutnya adalah campuran dari
kedua teori tersebut yang dikemukakan oleh para sarjana ini. Bellefroid
menyatakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan
dan faedah. Utrecht
menyatakan hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam
pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus
menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut
tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum bertugas polisionil (politionele
taak van het recht). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main
hakim sendiri (eigenrichting). Sedangkan, Wirjono Prodjodikoro
berpendapat tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan tertib dalam
masyarakat.[9]
Atas dasar penjelasan tersebut, demikian dikemukakan oleh pihak pemohon, norma hukum yang termaktub
dalam UU Perkawinan telah melanggar hak konstitusional yang seharusnya didapatkan oleh Pemohon. Sehingga pihak pemohon menyatakan bahwa berdasarkan
semua hal yang telah diuraikan di atas, , maka MK berwenang untuk mengadili dan
memutuskan Perkara Permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945; Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan
bukti-bukti terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi
agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut: pertama, Menerima dan
mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya; kedua,
Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD1945; ketiga, Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala
akibat hukumnya; Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan
Putusan yang seadil12 adilnya (ex aequo et bono)[10].
Kemudian menimbang bahwa untuk membuktikan
dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi
tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-6, sebagai berikut: 1. Bukti
P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Bukti
P-2 : Fotokopi Penetapan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs. 3. Bukti P-3 : Fotokopi Rekomendasi Komisi Perlindungan
Anak Indonesia
Nomor 230/KPAI/VII/2007. 4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Tanda Penerimaan
Pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Nomor 07/KPAI/II/2007. 5.
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nomor 173/KH.M&M/K/X/2006 perihal Somasi tertanggal
16 Oktober 2006.
6. Bukti P-6 : Fotokopi
Surat Nomor 03/KH.M&M/K/I/2007 perihal Undangan dan Klarifikasi tertanggal
12 Januari 2007.
Selain berbagai alasan
yang cukup
logis dan sitematis sebagaimana diuraikan di atas, pihak
pemohon
juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag.,[11]
yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4
Mei 2011, yang pada pokoknya sebagai
berikut: pertama, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah jelas mengakui
bahwa perkawinan adalah
sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; kedua,
keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengakibatkan adanya dua pemahaman. Di satu
sisi, perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut agama atau kepercayaan masing-masing; di sisi lain perkawinan dimaksud tidak memiliki kekuatan
hukum karena tidak dicatat; Ketiga,
Dari perspektif hukum
Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah memenuhi
lima rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali dari pihak
mempelai wanita; Keempat, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak jelas,
kabur, dan kontradiktif dengan Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan, serta berdampak pada pernikahan seseorang yang telah
memenuhi syarat dan rukun secara Islam tetapi karena tidak dicatat di KUA maka pernikahannya menjadi tidak sah; kelima, Karena
perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa anak dari perkawinan
tersebut hanya memiliki nasab
dan hubungan kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu. Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan ditulis sebagai
anak dari ibu tanpa bapak; Keenam,
Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis,
dikucilkan masyarakat, kesulitan biaya
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya; Ketujuh, Keharusan mencatatkan pernikahan yang
berimplikasi pada status anak di luar nikah
yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945, karena anak yang seharusnya
dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya karena orang
tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan
yang tidak dicatat; kedelapan,
dalam hukum Islam, anak lahir
dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban
dosa orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep dosa turunan atau pelimpahan
dosa dari satu pihak ke pihak lainnya; Kesembilan, pertanggungjawaban
pidana dalam hukum Islam bersifat individu. Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain,
apalagi bertanggung jawab terhadap
dosa orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran Surat al- Isra’/17:15; Surat al-An’am/6:164; Surat
Fatir/35:18; Surat az-Zumar/39:7; dan Surat
an-Najm/53:38; Kesepuluh, Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernasab kepada ibu kandungnya,
namun ini bukan anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi syarat dan rukun). Anak yang lahir dari
perkawinan sah secara Islam,
meskipun tidak dicatatkan pada instansi terkait, tetap harus bernasab kepada kedua bapak dan ibunya; kesebelas, dalam
Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut memutus hubungan nasab antara anak dengan bapak.
Jika anak yang akan diadopsi
tidak diketahui asal muasal dan bapak kandungnya, maka harus diakui sebagai saudara seagama atau aula/anak
angkat; dan bukan dianggap sebagai
anak kandung; dan Keduabelas, dalam fiqh,
tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat perintah Allah dalam Al Quran Surat an-Nisa’ ayat 59 untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk ulil
amri). Dengan
demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan
dengan Pasal 27, Pasal 28B ayat (2),
dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Ketigabelas, jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan mengandung madharat,
tetapi menghapusnya juga menimbulkan madharat, maka dalam kaidah hukum Islam, harus dipilih madharat-nya
yang paling ringan.
Selain
mendengarkan keterangan ahli, majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga
mendengarkan berbagai masukan dari pihak pemerintah, pihak DPR. Pihak
pemerintah menyampaikan paparan dan alasan panjang lebar yang kesimpulannya
adalah bahwa Berdasarkan penjelasan tersebut di atas,
Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD
1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: pertama, menyatakan
bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); Kedua,
menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau
setidaktidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard); Ketiga, menerima Keterangan Pemerintah
secara keseluruhan; Keempat, menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan 24 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Namun demikian apabila Mahkamah
Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
B. Pendapat dan Putusan Mahkamah
Konstitusi
Majelis hakim Mahkamah Knstitusi berpendapat
bahwa bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk
mendapatkan status hukum anak; Selanjutnya menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai
pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai
makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan
tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau
prinsipprinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Mahkamah juga berpendapat bahwa berdasarkan Penjelasan UU 1/1974
di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang
menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban
administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun
faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan
oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan
perkawinan oleh negara melalui peraturan perundangundangan merupakan kewajiban
administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan
perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama,
dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara
memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia yang bersangkutan
yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945].
Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian
menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena
pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, danketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan
secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan,
sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang
bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di
kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta
otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak
yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara
efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan,
hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan
terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu,
uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai
asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila
asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu
akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang.
Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila
dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya; Menimbang bahwa pokok
permasalahan hukum mengenai anak yang
dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal
meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk
memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah,
tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum
dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui
cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di
luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak
adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak
terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan
bahwa
seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Dengan demikian, akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran
karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang
perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya
meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan
seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan
darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian,
terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan
harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan
adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa
karena kelahirannya di
luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan;
Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di
atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
Selanjutnya Mahkamah konstitusi menimbang bahwa, berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat
(1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Sebagai konklusi dari penadapat Mahkamah
Konstitusi bahwa berdasarkan penilaian atas fakta dan
hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Pertama, Mahkamah berwenang
untuk mengadili permohonan a quo; Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo; Ketiga, Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk
sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Akhirnya Mahkamah Konstitusi menyampaikan amar putusan dengan mengadili dan menyatakan Pertama,
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Kedua, Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Ketiga,
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunyaserta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”; Keempat, Menolak permohonan para
Pemohon untuk selain dan selebihnya; Kelima, Memerintahkan untuk
memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad
Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan
Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masingmasing sebagai Anggota,
pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua
belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka
untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Februari, tahun dua
ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi,
yaitu Moh.Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria
Farida Indrati, Harjono,
Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan
Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh
Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon
dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat
atau yang mewakili.
C. Pemohon Sebagai pihak Pencari
Keadilan terkait status anak sah
Dari semula proses uji
Materi UU perkawinan ini diakui oleh pihak pemohon sebagai sebuah upaya
pamungkas dan usaha terakhir dalam mencari keadilan hukum di Indonesia . Dari
beberapa alasan pihak pemohon di atas bisa diketahui bahwa inti permohonan
yudisial review pihak pemohon, Machicha Mochtar adalah dalam rangka menggugat Pasal 2 Ayat 2
dan Pasal 43 Ayat 1 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya
memiliki hubungan perdata kepada ibunya. Untuk memperkuat argumennya. kuasa
hukum Machicha, Rusdianto, sebelumnya menyerahkan UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Surat Keputusan PA Tiga Raksa Tangerang, Tigaraksa No 46/Pdt.G,
Surat KPAI, Pengaduan KPAI, Surat Somasi, UU dan Klarifikasi tertanggal 12
Januari 2007.[12]
Upaya
dan usaha pihak pemohon sudah berlangsung lama dan memakan waktu yang sangat
panjang. Hal ini juga dikemukakan dalam duduk perkara putusan MK dimaksud,
antara lain dikemukakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya
pemikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah
dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.,tanggal 18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5 yang
menyatakan: "... Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah
berlangsung pemikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machicha binti
H. Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan
wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi,
masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar
berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set
perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan
dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh
laki-laki bernama Drs. Moerdiono;[13]
Machicha
tak pernah mau menyerah untuk terus memperjuangkan pengakuan anaknya, hasil
dari pernikahan sirri dengan menteri sekretaris negara era Orde Baru,
Moerdiono. Rusdianto, pengacaranya mengatakan jika sesuai asas agama UU
Perkawinan, maka pernikahan Machicha dengan Moerdiono itu sah. “Jadi, kami
mencari keadilan untuk pengakuan anak. Iqbal adalah sah anak bapaknya,” kata
dia. [14]
Perjuangan
pemohon yang tanpa mengenal lelah ini akhirnya membawa hasil yang
sangat melegakan, ini kemengan seluruh anak Indonesia yang dilahirkan di luar
perkawinan resmi. Ini kemenangan bersama anak yang mengalami nasib seperti anak
saya, kata Machicha seusai persidangan Jumat.[15]
Memang harus diakui bahwa putusan MK
dalam maslah ini menimbulkan pro kontra sehingga KUA khawatir putusan MK ini
justru mendorong masyarakat berzina.[16]
SEhari setelah keluar putusan ini, di halaman 11 Harian Republika bahkan ada
judul berita MUI: Banyak Penafsiran da
Khawatir Zina. Oleh sebab itu penulis sebagai saksi ahli yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam
upaya yudisial review UU perkawinan ini merasa sangat perlu untuk melengkapinya
kajian ini dari tinjauan fikih dan
siyasah syar’iyyah, agar lebih dinamis wacana hukum Islam di negeri yang
mayoritas warganya beragama Islam ini
D. Keberagaman Penafsiran atas
Putusan MK tentang anak luar nikah
Dengan
diakuinya anak luar nikah menjadi anak sah sebagaimana dalam putusan MK ini
sangat memungkinkan munculnya beragam penafsiran. Harian Republika sehari
setelah putusan itu dikeluarkan juga menulis sebuah berita berjudul KUA khawatir putusan MK ini justru mendorong
masyarakat berzina. Detik com beberapa menit setelah putusan itu dibacakan oleh
ketua MK memuat berita bahwa Pro kontra masyarakat menyikapi putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang mengakui anak di luar nikah mulai bermunculan. Menurut
ahli pidana Islam, M. Nurul Irfan, putusan ini merupakan bentuk pengakuan hak
anak, bukan melegalkan zina.
Sementara
itu menurut ketua MUI Amidan, putusan MK itu sudah merupakan bahasan turunan
dari UU perkawinan. Untuk pasal yang telah disahkan oleh MK, menurutnya sudah
masuk dalam ranah fikih, ketika sudah masuk dalam wilayah fikih, tentunya akan ada beragam pendapat. Para ulama di Indonesia sejauh ini berpendapat bahwa untuk anak lahir yang lahir
di luar nikah boleh dikawinkan atau
sah dan mereka itu saling mewarisi.
Selanjutnya Amidan kemukakan bahwa
putusan MK ini akan memicu penafsiran yang berbeda. Bagi sebagian
lainnya, putusan ini bisa juga menimbulkan
kekhawatiran bahwa bisa saja
dilegalkan perzinaan. Kekhawatiran ini diamini oleh kepala KUA Kabupaten
Donggala Sulawesi Tengah Ahmad Agung, ia khawatir putusan ini akan
mendorong sebagian masyarakat untuk melakukan perzinaan. “ini bertentangan dengan
visi kami di KUA.[17]
Beragam
penafsiran dan berbagai kekhawatiran masyarakat pasca putusan MK tentang anak
di luar nikah yang dianggap sah dan memiliki hubungan darah serta harus
mendapatkan hak keperdataan dari bapak biologisnya ini ditanggapi oleh wakil menteri Agama Nasaruddin Umar, ia
menyatakan siap menjalankan putusan MK. Ia juga mengatakan bahwa kalau putusan MK
memerintahkan anak yang lahir di luar pernikahan memiliki hubungan perdata dengan ayah dan
keluarga ayahnya, maka putusan tersebut yang harus diterapkan. Kami tunduk pada
putusan MK. Selanjutnya Nasarrudin kemukakan bahwa yang akan menjadi
permasalahan nanti adalah terkait pengurusan akta kelahiran, jika dulu anak di
luar nikah tidak dapat mendapatkan akta kelahiran, sebab bapak ibunya tidak
memiliki surat nikah, maka sekarang hal itu bisa berubah. Saya pelajari dulu putusan formalnya, nanti
baru diterapkan. Katanya.[18]
Pro
kontra semacam ini pada dasarnya jauh-jauh hari telah diprediksi bahkan
disampaikan oleh salah seorang hakim MK Harjono, pada 1 Desember 2010, ketika
uji materi UU ini sedang dalam proses ia
pernah mengatakan bahwa Seandainya Pasal 43 ayat
(1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai bertentangan UUD 1945 dan
dimohon untuk dicabut akan berimplikasi luas. Karenanya, pemohon diminta
mempertimbangkan kembali permohonannya. Oleh sebab itu pasal ini oleh ijtihad
hakim MK dirumuskan menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
Kata
“mempunyai hubungan darah” dalam rumusan pasal perubahan ini memang sangat
sensitive, sebab hubungan darah dalam kajian hukum Islam adalah nasab. Padahal
nasab merupakan salah satu dari al-Kulliyyah al-Khams, al-Dharuriyyat
al-Khams atau panca jiwa syariah. Nasab tidak mungkin dibentuk melalui
jalan perzinaan, sedang rumusan pasal hasil ijtihad MK ini jelas-jelas mengakui
keabsahan nasab anak di luar nikah yang tetap memiliki hubungan nasab dengan
bapak kandungnya. Di sinilah masalah pokok yang
menjadi perhatiaan banyak kalangan baik ulama, akademisi mupun berbagai
pihak pemerhati hukum Islam di Indonesia.
E. Sebuah Solusi Bijak dalam menyikakapi dan melaksanakan putusan MK
Tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa salah satu
isi al-Dharuriyyat al-Khams atau panca jiwa syariah sebagai tujuan mendasar
diberlakukannya hukum Islam oleh Allah SWT adalah untuk memelihara nasab atau
keturunan yang sah. Dalam rangka menjaga nasab inilah agama Islam melarang
segala bentuk perzinaan dan prostitusi serta sangat menganjurkan nikah untuk
melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan seorang anak dapat mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayah dan
ibu kandungnya secara sah dan jelas. Dalam hal ini, munurut hukum pidana Islam pelaku
zina baik muhsan[19],
maupun ghairu muhsan [20]
harus dikenai sanksi hukum rajam atau dera seratus kali.[21]
Terkait anak luar nikah, akibat perzinaan dalam
sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik
tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu
hukuman.” Dari hadits ini, dapat diketahui bahwa
anak juga bernasab (hubungan darah ) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur
yang sah. Sebab, ia adalah seorang suami sah dari ibu kandungnya. Sementara,
menurut hukum Islam perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab
anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. “Jika
pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, sedangkan
perzinahan anak yang dilahirkan akibat
perbuataqn zina hanya bernasab dengan ibunya.” Wahbah Az-Zuhaili, pakar hukum
berkebangsaan Syria ,
terkait masalah ini mengatakan bahwa
anak yang lahir akibat nikah sirri (di bawah tangan) tetap memiliki hubungan
nasab dengan ayahnya.[22]
Sebab, pernikahan yang sah merupakan salah satu sebab ditetapkan nasab anaknya,
selain hubungan badan secara subhat (belum jelas halal-haramnya), dan
ikrar/pengakuan nasab. Sementara, nasab anak terhadap ibu kandungnya
menurut hukum Islam dapat ditetapkan atas dasar kelahiran baik lahir secara
syar’i (pernikahan) maupun tidak secara syar’i (perzinaan). Dengan adanya putusan
MK terkait pasal 43 ayat (1) UU perkawinan, seolah-olah MK mendobrak doktrin
hadis shahih ini dengan menyatakan bahwa menurut
hukum anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan ayah biologisnya dan
keluarga ayahnya.
Penulis yakin bahwa pada saat hakim MK
bermusyawarah untuk mengeluarkan putusan ini telah mempertimbangkan barbagai
nas keagamaan terkait soal nasab ini. Sebab, sebagaimana dikemukakan pada
uraian di atas, penulis juga memberikan
tulisan sebagai kertas kerja selaku saksi ahli dalam perkara ini kepada majelis
hakim MK pada hari Rabu tanggal 4 Mei
2011. Sehingga tidak mungkin masukan
saksi ahli dan kepiawaian ketua MK dalam bidang kitab kuning dan ilmu
agama Islam tidak menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan putusan tentang anak di luar nikah ini. Oleh sebab
itu, mengutip wakil menteri Agama, Nasaruddin Umar, pemerintah siap menjalankan keputusan MK. Jika
pemerintah telah menetapkan suatu peraturan, maka sebagai warga Negara yang
baik tetap harus mentaatinya. Sebab pemerintah adalah ulil amri yang wajib
ditaati atas dasar firman Allah dalam surat
an-Nisa ayat 59.
Di samping itu dalam hukum Islam majelis hakim
yang memutuskan suatu perkara jelas mereka telah melakukan ijtihad. Jika
seandaianya ijtihad itu benar, maka mereka akan memperoleh dua pahala tetapi
jika ternyata salah menurut Allah, maka mereka tetap akan memperolah satu
pahala. Oleh sebab itu pemerintah dan semua warga Negara Indonesia
sebaiknya (untuk tidak mengatakan wajib) mentati putusan MK ini. Hal in jika
ditinjau dari makna penting dan
kekuatan hukum sebuah ijtihad, bahkan
terkait hasil ijtihad ini, terdapat sebuah kaedah dasar dalam hukum Islam bahwa
hukum (ketetapan) hakim bisa melenyapkan berbagai multi tafsir yang saling berbeda
satu dengan yang lain. Dengan kata lain, berbagai perbedaan pendapat hendaknya
dianggap selesai dengan merujuk kepada putusan hakim.
Sebagai saksi ahli yang ikut bertanggungjawab
dalam hal ini, penulis ingin kemukakan bahwa wewenang hakim Mahkamah Konstitusi
antara lain adalah untuk menguji materi sebuah UU. Jika sebuah UU memang
nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, maka UU yang nota bene
berada di bawah kekuatan UUD 1945 harus dibatalkan. Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang untuk membatalkan sebuah pasal UU yang bertentangan dengan Alquran
dan hadis. Demikian halnya pembatalan sebuah pasal UU yang berakibat pada
terjadinya perbedaan pemahaman dengan ketentuan dalam nas keagamaan baik
Alquran dan hadis juga tidak menjadikan ruang gerak ijtihad MK menjadi terbatasi atau terhalangi.
Memang harus diakui bahwa untuk memuaskan
berbagai pihak tentu menjadi sesuatu yang sangat sulit. Pada saat pihak pemohon
telah merasa lega bahkan puas dengan putusan MK ini, ternyata banyak pihak lain
yang merasa terkaget-kaget dengan perubahan pasal ini. Pada saat anak pemohon
yang segera akan memperoleh hak-haknya sebagai anak sah, hal itu menjadi sesuatu yang sangat wajar,
sebab ia lahir dalam perkawinan yang sah. Namun dalam waktu yang bersamaan
berpuluh bahkan beratus-ratus anak yang
lahir dalam perzinaan di Indonesia
ini juga bisa memiliki status sebagai
anak sah dan berhubungann darah dengan bapak biologisnya, setelah
dikeluarkannya putusan MK ini.
Namun demikian, penulis sangat tidak setuju jika
dikatakan bahwa putusan MK yang
membatalkan ketentuan pasal 43 ayat (1) dituduh sebagai biang keladinya
maraknya perzinaan di Indonesia .
Penulis juga tidak bisa menerima pendapat yang mengatakan bahwa putusan MK ini
sama saja dengan melegalisasi perzinaan. Sebab jika diruntut secara jujur pasal
terkait perzinaan, overspel atau gendak di Indonesia ,
yaitu pasal 284 KUHP justru ketentuan pasal inilah yang semestinya dianggap
sebagai factor penyebab maraknya perzinaan di Indonesia . Sebab dalam pasal 284
KUHP itu zina dianggap sebagai delik aduan dan yang disebut perzinaan adalah
jika pelakunya seorang suami atau istri. Bukan sebagai delik biasa yang tanpa
harus menunggu pihak yang mengadukan, delik perzinaan baru bisa dimejahijaukan.
Pasal tentang zina dalam KUHP lah yang mestinya dituduh sebagai biang keladi
maraknya praktik perzinaan. Sebab KUHP tidak menganggap zina jika pelakunya
suka-sama suka baik berstatus duda, janda, perawan maupun perjaka. Bahkan bila dilakukan
oleh suami atau istri yang masing-masing tidak merasa terganggu dengan
perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangannya, menurut KUHP tidak ada masalah,
karena tidak diadukan oleh salah satu pihak, suami atau istri. Jadi pasal 284
KUHP lah yang lebih pas dianggap sebagai pemicu terjadinya banyak perzinaan di Indonesia ,
bukan putusan Mk tentang status anak.
Tentu saja pernyataan penulis seperti ini juga
masih memungkinkan dibantah oleh pihak lain bahwa mestinya MK tidak perlu
memperparah kekacauan rumusan pasal 284
KUHP tentang perzinaan agar tidak semakin marak terjadi di negeri ini. Perlu
ditegaskan ulang di sini bahwa putusan MK tentang status anak luar nikah yang
dianggap sebagai anak sah tidak dimaksudkan untuk melegalisasi zina, sama
sekali bukan itu maksud yang ditempuh
MK. MK justru sedang berupaya untuk menyelaraskan UU no 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan denga UUD 1945 agar tidak terjadi pertentangan anatar keduanya
sebagaimana yang akibatnya dirasakan oleh pihak pemohon perkara. MK sedang
berusaha mencari jalan tengah agar hak-hak anak sekalipun ia lahir di luar
perkawinan tetap bisa memperoleh hak-haknya sebagai mana anak-anak biasa agar
tidak terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM. Di samping itu para suami yang
memiliki istri simpanan, suami yang berselingkuh, suami yang melakukan semen
leven (kumpul kebo) tetap bisa dituntut tanggungjawabnya untuk memberikan
hak-hak anak yang lahir akibat perbuatannya. Dengan demikian para lelaki yang gemar melakukan berbagai jenis perbuatan
di atas tetap harus dituntut tanggung jawabnya agar hak-hak anak yang lahir
tanpa dikehendakinya tetap memiliki kedudukan sang sama dengan anak-anak yang
lahir dalam perkawinan. Hal inilah yang
antara lain menjadi bahan pertimbangan MK.
Solusi bijak yang penulis bisa kemukakan di sini
adalah walaupun putusan MK telah dikeluarkan, maka tetap saja perzinaan tidak
bisa menjadi sebab adanya hubungan nasab, sekalipun terbukti menurut ilmu
pengetahuan bahwa memang ia adalah anaknya. Dia memang anak dari sisi bahwa ia
tetap harus dinafkahi dan diberi
berbagai hak lain oleh bapak biologisnya. Tetapi jika dia anak yang dilahirkan
itu perempuan, akan sangat tepat jika hak perwaliannya jangan diberikan,
sehingga pada saat ia akan menikah yang
bertindak sebagai wali bukan ayah biologisnya, melainkan tetap wali hakim.
Sebab anak zina tidak bisa bernasab dengan ayah kandungnya.
Jadi sebagai sanksi moral dan hukuman bagi ayah
biologisnya atas perzinaan yang dilakukannya ia hanya wajib bertanggungjawab
secara meteril kepada anak kandungnya, ia wajib menafkahi kehidupan anaknya, membiayayi
pendidikannya dan memperhatikan berbagai hak yang harus diterima layaknya anak
pada umumnya. Namun untuk tetap menjaga kemurnian hukum Islam sebagaimana
disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa zina tidak layak menjadi sebab pembentuk
hubunagn nasab, maka hak untuk mewalikan
dan hak waris tetap tidak bisa diberikan kepada anaknya. Oleh sebab itu, penulis
berpendapat bahwa pada saat anak di luar
nikah ini akan melaksanakan pernikahan, maka walinya wali hakim dan pada saat
akan memberikan harta peninggalan ayah biologisnya, agar tidak diberi nama warisan, tetapi bisa
menggunakan istilah hibah, sedekah, atau wasiat. Sebab syarat untuk bisa
memperoleh warisan dalam hukium Islam antara lain harus terdapat hubungan nasab
antara pewaris dan ahli waris.
Dengan demikian pasal 43 ayat (1) UU no 1 tahun
1974 pasca putusan MK Jumat 17 Februari 2012 tetap tidak bisa menyebabkan
terjadinya hubungan nasab antara anak zina dengan bapak biologisnya. Hubungan perdata yang dimaksudkan oleh
rumusan putusan MK ini harus dipahami sebagai hubungan perdata selain waris. Maksudnya anak luar nikah akibat nikah
sirri harus dibedakan dengan anak luar nikah karena zina. Status anak luar
nikah karena nikah sirri sama dengan
status anak yang lahir dalam pernikahan resmi dalam hal perwalian dan
kewarisan, sedangkan anak luar nikah karena zina harus dinikahkan oleh wali
hakim dan diberikan hak bagian harta tetapi bukan dengan nama warisan,
melainkan bisa dengan wasiat, hibah dan atau sedekah. Inilah solusi bijak yang
sebaiknya disosialisasikan kepada masyarakat luas.
D. Urgensi Nasab,
Metode Qiyafah, lmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai penentu hubungan
nasab
Putusan
Mahkamah Konstitusi terkait anak luar nikah tetap saja tidak lebih kuat dari
hadis Nabi tentang konsep nasab. Dengan dirubahnya rumusan pasal 43 ayat (1) UU
perkawinan tidak serta merta mampu merubah doktrin keagamaan mengenai faktor
pembentuk nasab. Putusan ini lebih pada
upaya jalan tengah agar anak-anak yang lahir di luar nikah tidak memperoleh
perlakuan diskriminatif akibat rumusan pasal UU perkawinan yang ternyata
bertentangan dengan UUD 1945.
Urgensi
nasab dalam hukum Islam tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini terbukti dalam
teori maqasid al-Syariah yang menyebutkan bahwa tujuan mendasar diberlakukannya
hukum Islam adalah untuk menjaga lima
hal penting yaitu agama, jiwa, akal, harta dan nasab. Terkait urgensi nasab,
Wahbah az-Zuhaili mengatakan:
ورعاية النسب أحد
مقاصد الشريعة الخمسة.
Menjaga nasab merupakan salah satu
dari tujuan-tujuan mendasar pemberlakuan hukum Islam.[23]
Lebih
lanjut terkait factor-faktor pembentuk nasab dalam hukum Islam az-Zuhaili menjelaskan dengan
uarain yang sangat lengkap sebagai berikut:
ونسب الولد من أمه
ثابت في كل حالات الولادة شرعية أو غيرشرعية، أم نسب الولد من أبيه، فلا يثبت إلا
من طريق الزواج الصحيح أو الفاسد، أو الوطء بشبهة، أو الإقرار بالنسب، وأبطل
الإسلام ما كان في الجاهلية من إلحاق الأولاد عن طريق الزنا، فقال صلّى الله عليه
وسلم : «الولد للفراش، وللعاهر الحجر»
Hubungan nasab antara anak dengan
ibu kandungnya bisa ditetapkan dengan kelahiran bagaimana dan apapun jenis
kelahirannya, baik sesuai dengan aturan syariat maupun bertentangan. Sedangkan
hubungan nasab antara anak dengan bapak kandungnya, maka tidak bisa ditetapkan
melainkan dengan cara melaksanakan pernikahan yang sah, melalui pernikahan fasid, melalui hubungan
badan secara syubhat atau melalui ikrar penetapan nasab. Agama Islam datang
dengan membatalkan kebiasaan masyarakat jahiliah yang biasa menetapkan nasab
anak dengan cara perzinaan, sehingga Rasulullah bersabda bahwa anak hanya
bernasab dengan laki-laki yang memiliki tempat tidur yang sah (melalui
pernikahan sah) sedangkan pezina hanya layak mendapatakan hukuman.[24]
Perzinaan
tetap tidak pernah akan membentuk hubungan nasab, jika dipaksakan, maka justru
hukum Islam akan jauh mengalami kemunduran, bukan keberanjakan, sebab kebiasaan
menghubungkan nasab akibat zina ini sebagai sebuah tradisi masyarakat di zaman
jahiliah. Namun demikian dalam menetapkan hubungan nasab bisa melalui ikrar
nasab, melalui hubungan badan secara syubhat dan bahkan bisa dengan cara qiyâfah.
Cara yang disebut terakhir inilah yang ada hubungan erat dengan rumusan pasal
pasca putusan MK tentang anak luar nikah.
Qiyafah
merupakan cara untuk menelusuri nasab dengan melibatkan ahli penelusur nasab
yang dalam bentuk singularnya disebut dengan qâ`if atau bentuk pluralnya
disebut qâfah sebagaimana
dijelaskan dalam buku Fada`il al-Qur`an, al-Faryabi mengemukakan:
القافة: هم الذين يلحقون الولد بالآثار
الخفية. فَالْتَاطَتْهُ: ألحقته به
al-qâfah adalah mereka yang bisa menetapkan hubungan nasab anak
dengan hal-hal yang tersembunyi, sehingga ditetapkan hubungan nasabnya lalu
diakui kebenarannya[25].
Terkait
dengan metode penetapan nasab dengan cara qiyâfah ini, Imam al-Syafi’i,
sebagaimana dikutip oleh al-Kasymiri menyatakan
:
إن القافة معتبرة وبحيث لو ادعى المولان
نسب ولد جارية فالعبرة لما قال القائف ، وقال أبو حنيفة : إن الولد لهما .{العرف
الشاذى للكشميرى ج3: 330}
Sesungguhnya al-qâfah
itu bisa diterima kebenarannya (mu’tabarah), dan jika ada dua pemilik hamba
sahaya mengklaim nasab anak yang dikandung oleh hamba sahaya perempuannya, maka
yang dijadikan pegangan adalah pendapat al-qâ`if. Namun menurut Imam Abu
Hanifah anak itu menjadi milik kedua orang yang sedang berselisih tersebut.[26]
Seberapapun
janggal dan anehnya ulasan para pakar hukum Islam dalam masalah al-qiyâfah, namun yang jelas bisa diketahui bahwa metode al-qiyâfah,
ini ada kaitannya dengan pernyataan putusan MK yang berbunyi "anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya". Letak keterkaitan putusan
ini dengan al-qiyâfah, ada pada kalimat “yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain”. Untuk membutikan
kebenaran hubungan darah antara anak dengan ayah kandungnya di zaman modern
saat ini tentu bukan menjadi sesuatu yang sulit, bisa dengan tes darah dan bisa melalui penelitian genetika (DNA) serta
dengan alat-alat canggih yang tersedia di dunia kedokteran zaman modern ini.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain di zaman kuno itu memang
baru terbatas pada al-qiyâfah, belum ada USG, tes darah atau penelitian genetika atau DNA,
sehingga metode al-qiyâfah, sekuno dan seterbelakang apapun metode ini
tetap bisa dianggap sebagai alat bukti dalam menetapkan hubungan nasab anak
kepada ayah.
Metode
q al-qiyâfah, yang terkesan agak janggal dan aneh bahkan bisa dianggap mirip
dengan cara kerja para normal atau dukun ini, ternyata juga diakui oleh
profesor pakar hukum Islam berkebangsaan Syiria, Wahbah az-Zuhaili. Dalam
paparannya ia mengemukakan bahwa seandainya ada kasus perebutan anak akibat seseorang menikahi wanita yang masih
dalam masa iddah atau bahkan dalam kasus dua orang atau lebih yang mengakui
seorang bayi temuan sebagai anak
kandungnya, maka hal ini bisa ditempuh dengan metode penelusuran nasab atau al-qiyâfah, selanjutnya az-Zuhaili kemukakan sebagai berikut:
والقيافة: تتبع
الأثر، والقافة عند العرب: هم قوم كانت عندهم معرفة بفصول تشابه الناس.
اختلف
الفقهاء على رأيين في الاعتماد على القافة
: فرأى الحنفية: أن
الأصل ألا يحكم لأحد المتنازعين في الولد، إلا أن يكون هناك فراش ، لقوله عليه
الصلاة والسلام: «الولد للفراش» فإن عدم الفراش أو اشتركا في الفراش، كان الولد
بينهما، ولا يعمل بقول القائف، بل يحكم بالولد الذي ادعاه اثنان لهما جميعاً.
ورأي الجمهور وهم
(مالك والشافعي وأحمد وأبو ثور والأوزاعي): أنه يحكم بالقيافة، بدليل قول عائشة:
«إن رسول الله صلّى الله عليه وسلم دخل عليَّ مسروراً، تبرُق أسارير وجهه، فقال:
ألم تري أن مُجَزِّزاً نظر إلى زيد بن
حارثة وأسامة بن زيد، فقال: إن هذه الأقدام بعضها من بعض» ففيه دليل على ثبوت العمل بالقافة.
Al-Qiyâfah adalah upaya untuk
menelusuri bekas-bekas, al-Qâfah menurut masyarakat Arab difahami
sebagai sebuah pengetahuan/keahlian untuk menetapkan hubungan nasab dengan
melihat kesamaan-kesamaan bentuk fisik seseorang. Para
pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam menerima konsep ini. Ulama kalangan
hanafiah berpendapat bahwa tidak mungkin ditetapkan hubungan nasab antara dua orang yang berselisih kecuali memang telah nyata-nyata terjadi
proses kepemilikan tempat tidur (kontak seksual dalam pernikahan) atas dasar
hadis Nabi ” al-waladu lil Firasy” Jika tidak terjadi kontak seksual
dalam pernikahan, atau kontak seksualnya dilakukan oleh dua orang (seperti
karena seseorang menikahi wanita di masa
iddah), maka menurut mereka anak ini menjadi milik dua-duanya. Tidak pada
tempatnya metode qiyafah digunakan dalam kasus ini, melainkan anak menjadi
milik berdua sekaligus. Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi’I Abu
Tsaur dan al-Auza’i) berpendapat bahwa dalam kasus di atas digunakan metode qiyâfah ini. Alasan jumhur
ulama adalah hadis Aisyah yang menyebutkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW
masuk rumah saya dalam keadaan bergembira wajahnya tampak sangat berseris-seri,
lalu beliau berkata, ketahuilah, sungguh Mujazziz (seorang ahli penelusur nasab pada saat itu)
meneliti Zaid bin Haritsah dan Usamah bin Zaid lalu Mujazziz mengatakan
kaki Usamah merupakan bagian dari kaki
Zaid. Dari hadis ini ditetapkan bahwa upaya menelusuri nasab yang dilakukan
oleh para ahli penelusur nasab dapat diterima dan dibenarkan .[27]
Hadis
tetang metode menetapkan nasab dengan cara qiyâfah ini diriwayatkan oleh
Ibnu Majjah sebagai berikit:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ
مَسْرُورًا وَهُوَ يَقُولُ يَا عَائِشَةُ أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ مُجَزِّزًا
الْمُدْلِجِيَّ دَخَلَ عَلَيَّ فَرَأَى أُسَامَةَ وَزَيْدًا عَلَيْهِمَا قَطِيفَةٌ
قَدْ غَطَّيَا رُءُوسَهُمَا وَقَدْ بَدَتْ أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ
الْأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ {رواه ابن ماجه}
Dari Aisyah berkata,
suatu hari Rasulullah SAW masuk rumah saya dalam keadaan bergembira wajahnya
tampak sangat berseri-seri, lalu beliau berkata, ketahuilah, sungguh
Mujazziz al-Mudallaji (seorang ahli
penelusur nasab pada saat itu) masuk ke dalam rumahku lalu meneliti Zaid bin
Haritsah dan Usamah bin Zaid yang keduanya mengenakankain beludru untuk menutup
bagian kepala keduanya, tetapi kedua kakinya tetap kelihatan lalu Mujazziz
mengatakan kaki Usamah merupakan bagian
dari kaki Zaid. (HR Ibnu Majjah)[28]
Perdebatan ulama tentang metode qiyâfah ini tidak
kalah seru dengan pro kontra putusan MK terkait anak luar nikah. Senada dengan
uraian wahbah az-Zuhaili di atas, dalam
al-Mukhtasar min Musykil al-Atsar disebutkan sebagai berikut:
فأماأبو حنيفة والثوري وسائر أهل الكوفة
لا يلتفتون إلى قول القافة في شيء وأما مالك يستعمله في الإماء دون الحرائر ولا
فرق في الواقع وأما الشافعي فيستعمله في الحرائر والإماء جميعا
Pakar-pakar hukum Isalm
dari kawasan Kufah seperti Imam Abu
Hanifah dan al-Tsauri tidak menggubris sama sekali masalah penetapan garis
keturunan atas dasar al-qiyâfah, ini, tetapi Imam Malik
tetap menggunakannya walupun hanya terbatas
pada hamba sahaya, tentu saja kenyataannya tidak ada perbedaan, baik nasab
orang merdeka, maupun nasab hamba sahaya. sedang Imam Syafi’i tetap menerima konsep al-qiyâfah,ini baik dalam menelusuri nasab orang merdeka
maupun hama
sahaya.[29]
PENUTUP
Ibarat makan buah simalakama, tidak dikabulkan
salah, dikabulkan juga bisa salah. Putusan MK ternyata menuai Pro kontra di
masyarakat. Jika pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tidak diubah, masih akan banyak anak-anak luar nikah yang
berpotensi menjadi anak terlantar dan terdzalimi lahir batin. Tetapi ternyata setelah diketok palu MK terkait
pasal ini lembaga bergengsi di Indonesia yang
kita cintai ini justru dapat dianggap melegalisasi perzinaan di Indonesia. Penulis
sebagai saksi ahli dalam perkara ini harus ikut berbicara, walau sebatas
tulisan. Penulis harus menegaskan ulang pada bagian akhir tulisan ini bahwa MK tidak melegalkan
perzinaan. MK telah berhasil melakukan ijtihad dan keputusannya bersifat
mengikat, jika sebagian masyarakat memiliki tuduhan miring terhadap putusan ini
tentu hal ini sangat bisa difahami. Oleh sebab itu agar putusan ini tetap bisa
dilaksanakan dan agar tetap membawa
kemaslahatan bagi umat, maka sebaiknya walupun anak luar nikah akibat zina
tetap dianggap memiliki hubungan perdata dengan ayah bilogisnya dan keluarga
ayahnya, pada saat anak tersebut akan
menikah –kalau ia wanita- akan sangat
baik jika tetap menggunakan wali hakim. Demikian halnya proses pemindahan harta peninggalan
bapak biologisnya, sebaiknya tidak dinamakan sebagai warisan, melainkan dengan
istilah hibah, wasiat atau sedekah.Sebab menurut hukum Islam syarat untuk bisa
menjadi wali, harus ada hubungan nasab antara calon mempelai wanita dengan ayah
kandungnya. Demikian halnya untuk bisa saling mewarisi harus terdapat hubungan
nasab antara pihak pewaris dan ahli waris. Hal ini penulis kemukakan sebagai sebuah solusi bijak dan logis. Selamat bagi MK yang telah mengeluarkan
putusan spektakuler, Dengan putusan ini banyak
anak-anak Indonesia
yang lahir di luar nikah, khususnya dalam kasus nikah sirri merasa lega. Banyak
juga kaum wanita korban sebagian kaum
laki-laki yang akan semakin terlindungi secara konstitusi dengan
dikeluarkannya putusan ini. Bahkan sejak saat ini tidak akan ada lagi istilah
dan sebutan anak haram atau anak zina, karena memang hal itu tidak sebaiknya
diberikan kepada anak-anak yang lahir bersih tanpa menanggung beban dosa
turunan dari kedua orang tuanya. Semoga putusan MK tentang status anak di luar nikah
ini bisa membawa maslahat dan terhindar dari berbagai fitnah mafsadat. Amin Ya Rabbal’alamin Wallahu a’lam bissawab!
DAFTAR
PUSTAKA
Alquran dan terjemahnya ‘Abdul Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ`î al-Islâmî, Beirut Dar al-Fikr, 2005 jilid 2
Abu Bakar bin Mas’ud bin
Ahmad al-Kasani, Bada`i’ al-Snana`i’, Seri al-Maktabah al-Syamilah, jilid 5
Al-Baihaqi, al Sunan
al-Shaghir, Seri al-Maktabah al-Syamilah, jilid 8al-Bukhari Shahih al-Bukhari, Seri al-Maktabah
al-Syamilah, jilid 5
al-Faryabi, Fada`il
al-Qur`an, seri maktabah al-Syamilah, jilid 7
Al-Kasymiri, al-‘Urf
al-Syadzdzi, Seri Maktabah al-Syamilah, Jilid 3
Al-Mukhtasar min Muskil
al-Atsar, Seri al-Maktabah al-Syamilah, jilid 1
al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Seri al-Maktabah
al-Syamilah, jilid 5
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta , Ikhtiar Bafru Van Hoeve, 1998
Ibnu
Mâjjah, Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Yazîd al-Qazwinî, Sunan Ibnu
Mâjjah, Beirut : Dar al-Fikr, 1995, jilid 1
hlm 739, hadis no 2349
Ibnu Jazi, al-Qawanin
al-Fiqhiyyah, Seri al-Maktabah al-Syamilah, jilid 1
Imam a-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, Riyad, Bait al-Afkar al-Dauliyyah, Tth Kompilasi Hukum Ilsam
KUHP, Jakarta , Sinar Grafika, 2008
Musa
al-Hijawi, al-Iqna’ fi halli alFadzi
Abi Syja’, Seri al- Maktabah
al-Syamilah, juz 2 Moelyatno,
Republika.Co.Id, Jakarta
Jumat, 17 Pebruari 2012 09:08 WIB
Republika, Sabtu 18
Februari 2012
RiduanSyahrani, Rangkuman Intisari
Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Cet. Pertama, 1991
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
Syarbini al-Khatib,
Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib, Seri al- Maktabah al-Syamilah, juz 10
Van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, terjemahan Incleiding tot de Studie van Het Nederlandse
Recht oleh Mr. Oetarid Sadino, Noordhoff-kalff N.V. Jkt. Cet. IV, 1958
UUD 1945 Hasil Amandemen
dan Proses Amendemen UUD 1945 Secara Lengkap, Jakarta , Sinar Grafika: 2008, Cet. Ke-5
UU No 1 Thun 1974
Tentang Perkawinan Fatawa al-Azahar, Seri al-Maktabah al-Syamilah jilid 1
Zuhailî
al-, Wahbah al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Beirut : Dâr al-Fikr, 1997,
cet.
ke-4, jilid 10.
*
Penulis adalah saksi ahli dalam
Permohonan uji materi yang diajukan
oleh Machicha Mochtar, istri sirri dari mantan Mensesneg (alm) Moerdiono, di
mana dari perkawinan sirri ini menghasilkan seorang anak laki-laki, bernama M
Iqbal Ramadhan. Selama ini, akibat
pernikahan yang tidak dicatat tersebut,
Iqbal tidak mendapat nafkah dan berbagai hak yang lain dari alm. Moerdiono dan keluarganya. Putusan MK ini
merupakan sebuah putusan yang sangat bersejarah dan spektakuler terkait
perkembangan Hukum Islam di Indonesia.
[1] Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[2]
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[3](Van Kan , Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan
dari Incleiding tot de Rechtswetenshap oleh Mr. Moh. O. Masduki), PT.
Pembangunan, Jkt, cet. III, 1960, hal. 9-11.)
[4]Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[5]
Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[6]Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[7]Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[8] (Van
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Incleiding tot de Studie
van Het Nederlandse Recht oleh Mr. Oetarid Sadino, Noordhoff-kalff N.V.
Jkt. Cet. IV, 1958, hal. 13).
[9](RiduanSyahrani,
Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Cet. Pertama, 1991, hal.
23-26).
[10]Risalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jumat 17 Februari 2012
[11]Saksi ahli dalam permohonan Yudisial
Review undang-undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini adalah penulis artikel dengan judul “Anak di Luar
Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
dan Konsep Nasab dalam Hukum Islam”
yang sedang ada di hadapan pembaca ini.
[12]
Republika.co.id, Gugatan Machicha diputuskan Hari ini, Jumat 17 Februari 2012,
09.08 WIB
[14] Republika.Co.Id, Jakarta
Jumat, 17 Pebruari 2012 09:08 WIB
[15]
Republika, Sabtu 18 Februari 2012,
hlm 11
[16]
Republika, Sabtu 18 Februari 2012,
hlm 11
[17]
Republika, Sabtu 18 Februari 2012,
hlm 11
[18]
Republika, Sabtu 18 Februari 2012,
hlm 11
[19]Muhsân adalah
orang yang telah balig, berakal, merdeka dan telah kawin, baik
masih terikat perkawinan maupun telah bercerai. (Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid 6 hlm 2028), jadi zina muhsan adalah perzinaan yang
dilakukan oleh seseorang yang telah balig, berakal, merdeka dan telah
kawin, baik masih terikat perkawinan maupun telah bercerai.
[20]Ghairu muhsân adalah kebalikan dari muhsân,
yaitu perzinaan yang dilakukan oleh para pihak yang masing-,masing belum dan
tidak sedang dalam keadaan nikah, melainkan
para pelaku masih berstatus gadis atau
perjaka.
[22] Wahbah
al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Beirut : Dâr
al-Fikr, 1997, cet. ke-4, jilid 10, hlm 16. Secara lengkap pernyataan
az-Zuhaili itu bisa dikemukakan sebagai berikut:
الزواج الصحيح أو الفاسد
سبب لإثبات النسب، وطريق لثبوته في الواقع، متى ثبت الزواج ولو كان فاسداً، أو كان
زواجاً عرفياً، أي منعقداً بطريق عقد خاص دون تسجيل في سجلات الزواج الرسمية، يثبت به نسب كل ما تأتي به المرأة من أولاد.
[23] Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa
Adillatuh, Beirut : Dâr al-Fikr, 1997, cet. ke-4, jilid 10, hlm 1
[24] Wahbah al-Zuhailî,
al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Beirut : Dâr al-Fikr, 1997, cet. ke-4,
jilid 10, hlm 1
[25]al-Faryabi, Fada`il al-Qur`an,
seri maktabah al-Syamilah, jilid 7 hlm 72
[26] Al-Kasymiri, al-‘Urf al-Syadzdzi,
Seri Maktabah al-Syamilah, Jilid 3, hlm 330
[27]
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa
Adillatuh, Beirut : Dâr al-Fikr, 1997, cet. ke-4, jilid 10, hlm 8. Hadis
tentang ini diriwayatkan oleh Ibnu Majjah sebagai berikut:
[28] Ibnu Mâjjah, Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Yazîd
al-Qazwinî, Sunan Ibnu Mâjjah, Beirut : Dar al-Fikr, 1995, jilid 1 hlm 739,
hadis no 2349
[29] Al-Mukhtasar min Muskil al-Atsar, Seri
al-Maktabah al-Syamilah, jilid 1 hlm 441
tolong aku dikasih nomer HPnya pak irfan (penulis) kirim ke nomer HP saya : 081542166673, secepatnya, terima kasih
BalasHapuskeren gan infonya, thanks pencerahannya
BalasHapusSouvenir Pernikahan Murah Kediri