A.
PENGERTIAN
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari
kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli
dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Menurut arti luas dari
murabahah yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati.
Selain pengertian di atas, terdapat beberapa
pengertian murabahah yang dikeluarkan para ahli, menurut Muhammad Ibn Ahmad
Ibnu Muhammad Ibn Rusyd, Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga
asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.[1]Adiwarman Azwar Karim
mengartikan murabahah sebagai akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.[2] Sejalan dengan pendapat
kedua ahli dan contoh dari murabahah di atas, menurut Ashraf Usmani, murabahah
adalah:
“Murabahah is a particular kind of sale where the seller
expresly mentions the cost of the sold commodity he has incurre, and sells it
to another person by adding some profit thereon. Thus, Murabahah is not a loan
given interest; it is a sale of commodity for cash/deferred price.”
Selanjutnya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah juga memberikan definisi tentang murabahah dalam Penjelasan
Pasal 19 ayat (1) huruf D. Menurut Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf d
tersebut, yang dimaksud dengan akad murabahah adalah Akad Pembiayaan suatu
barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya
dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Dari beberapa pengertian murabahah tersebut di atas
dapat ditarik garis bahwa akad murabahah merupakan salah satu bentuk natural
certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan
yang ingin diperoleh. Berdasarkan hal
tersebut pihak penjual wajib memberi tahu pembeli tentang harga pembelian
barang yang yang dijualnya serta menyatakan jumlah keuntungan sebagai
tambahannya. Misalnya, si Fulan membeli televisi dari pabrik dengan harga
Rp1.000.000 ditambah dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp100.000, maka
ketika ia menawarkan kepada pihak pembeli seharga Rp1.500.000 maka si Fulan
harus memberitahukan bahwa ia menjual televisi tersebut dengan harga
Rp1.500.000 dengan mengambil keuntungan sebesar Rp400.000.
B. DASAR SYARIAH
1.
Al-Qur’an:
a.
Firman Allah QS. an-Nisa’ ayat 29:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[3]
b.
Firman Allah Qs. al-Baqarah ayat 275:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”[4]
c.
Firman Allah Qs. al-Maidah ayat 1:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu..”
d.
Firman Allah Qs. al-Baqarah ayat 280:
bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”[5]
2.
Al-Hadits:
a.
Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga
hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR
Ibnu Majah).
b.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka."(HR. al-Baihaqi dan Ibnu
Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
c.
Hadits Nabi riwayat Tirmidzi: “Perdamaian dapat
dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkanyang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
d.
Hadits Nabi riwayat jama’ah: “Menunda-nunda (pembayaran)
yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
e.
Hadits Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan
Ahmad: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
f.
Hadits Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin
Aslam: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli,
maka beliau menghalalkannya.”
3.
Ijma & Kaidah Fiqih:
a.
Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan
cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula
al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal. 220-222).
b.
Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
4.
Fatwa DSN-MUI NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
C.
SYARAT & RUKUN MURABAHAH
1.
Syarat Murabahah:
a.
Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
b.
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang
ditetapkan.
c.
Kontrak harus bebas dari riba.
d.
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat
atas barang sesudah pembelian.
e.
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.[6]
2.
Rukun Murabahah:
a.
Ada penjual (Bai’)
b.
Ada pembeli (Musytari)
c.
Obyek/barang (Mabi‘)
d.
Kejelasan harga (Tsaman)
e.
Adanya ijab qabul (Sighat)
D.
MURABAHAH DAN CARA PEMBAYARAN
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai
atau cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam hara
barang untuk cara pembayaran yang berbeda.[7] Berikut jenis-jenis
pembayaran pada akad murabahah:
1.
Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang
di awal dan pembayaran dalam bentuk lump sum.
2.
Murabahah taqsith dicirikan dengan adanya penyerahan barang
di awal dan pembayaran dalam bentuk mencicil atau angsuran.
3.
Murabahah naqdan yaitu pembayaran secara tunai bersamaan
dengan penyerahan barang.[8]
E.
APLIKASI MURABAHAH DALAM BANK SYARIAH
Murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah
tidak sama persis dengan definisi murabahah yang dikenal dalam kitab-kitab
fiqih. Murabahah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan
dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Dalam hal ini bank syariah bukanlah pihak
yang bergerak sebagai produsen atau pemasok barang yang dapat memproduksi
sendiri atau tidak menyimpan stok barang yang hendak dipesan ataupun diinginkan
oleh pihak nasabah. Berdasarkan hal tersebut dalam prakteknya terdapat terdapat
3 (tiga) pihak yang terlibat dalam terwujudnya suatu akad murabahah, yakni bank
syariah, produsen/pemasok barang dan nasabah. Pada perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang
atau aset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli terlebih dahulu barang
itu dari pemasok barang dan setelah kepemilikan barang itu secara yuridis
berada di tangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah dengan
menambahkan suatu mark-up/margin atau keuntungan dimana nasabah harus
diberitahu oleh bank berapa harga beli bank dari pemasok dan menyepakati berapa
besar mark-up/margin yang ditambahkan ke atas harga beli bank tersebut[9].
Akad murabahah adalah produk pembiayan yang paling
banyak digunakan oleh perbankan syariah di dalam kegiatan usaha.[10] Maulana Taqi Usmani dalam
tulisannya tentang murabahah mengemukanan bahwa “Most of the Islamic banks
and financial institutions are using Murabahah as an Islamic mode of financing,
and most of their financing operation are based on Murabahah”[11]. Dalam praktik
perkembangan perbankan syariah, biasanya akad murabahah digunakan antara lain
pada:
1.
Perjanjian Pembiayaan Barang Investasi.
2.
Perjanjian Pembiayaan Kredit Kendaraan Bermotor;
3.
Perjanjian Pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah,
4.
Dsb.[12]
F.
FATWA-FATWA DSN-MUI TERKAIT MURABAHAH
1.
Fatwa DSN-MUI NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
Masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran
dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli, dalam rangka membantu
masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai
kegiatan, bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba,
oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang murabahah untuk
dijadikan pedoman oleh bank syariah. Adapun fatwa tersebut berisi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:[13]
a.
Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah:
1)
Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas
riba.
2)
Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’at
Islam.
3)
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya.
4)
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5)
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6)
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan
ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah
berikut biaya yang diperlukan.
7)
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati
tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8)
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan
akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9)
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
b.
Ketentuan murabahah kepada nasabah:
1)
Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu
barang atau aset kepada bank.
2)
Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli
terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3)
Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan
nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah
disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua
belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4)
Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5)
Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut,
biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6)
Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus
ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada
nasabah.
7)
Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif
dari uang muka, maka:
a)
jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia
tinggal membayar sisa harga.
b)
jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank
maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut;
dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
c.
Ketentuan jaminan dalam murabahah:
1)
Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya.
2)
Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang
dapat dipegang.
d.
Ketentuan utang dalam murabahah:
1)
Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi
murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah
dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang
tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk
menyelesaikan utangnya kepada bank.
2)
Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3)
Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian,
nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak
boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu
diperhitungkan.
e.
Ketentuan penundaan pembayaran dalam murabahah:
1)
Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda
penyelesaian utangnya.
2)
Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau
jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
f.
Ketentuan bangkrut dalam murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal
menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi
sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
2.
Fatwa DSN-MUI NO: 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka
Dalam Murabahah.
Terkait dengan permintaan pembiayaan murabahah
kepada lembaga keuangan syariah, lembaga keuangan syariah tersebut dapat
meminta uang muka untuk menunjukkan kesungguhan nasabah. Adapun
ketentuan-ketentuan terkait dengan uang muka dalam murabahah diatur lebih
lanjut dalam Fatwa DSN-MUI NO: 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka Dalam
Murabahah, sebagai berikut:[14]
a.
Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
b.
Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
c.
Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus
memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.
d.
Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat
meminta tambahan kepada nasabah.
e.
Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus
mengembalikan kelebihannya kepada na
3.
Fatwa DSN-MUI NO: 16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Diskon Dalam
Murabahah.
Salah satu prinsip dasar dalam murabahah adalah
penjualan suatu barang kepada pembeli dengan harga (tsaman) pembelian dan biaya
yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan, dalam praktiknya
penjual dalam hal ini lembaga keuangan syariah terkadang memperoleh potongan
harga (diskon) dari penjual pertama (supplier), dengan adanya diskon timbul
permasalahan, apakah diskon tersebut menjadi hak penjual (LKS) sehingga harga
penjualan kepada pembeli (nasabah) menggunakan harga sebelum diskon, ataukah
merupakan hak pembeli (nasabah) sehingga harga penjualan kepada pembeli
(nasabah) menggunakan harga setelah diskon. Untuk mendapat kepastian hukum,
sesuai dengan prinsip syariah Islam, tentang status diskon dalam transaksi
murabahah tersebut, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang potongan harga
(diskon) dalam murabahah untuk dijadikan pedoman oleh LKS. Berikut
ketentuan-ketentuan diskon dalam murabahah sebagaimana tercantum dalam Fatwa
DSN-MUI NO: 16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Diskon Dalam Murabahah:[15]
a.
Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qîmah) benda yang
menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.
b.
Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya
yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Jika dalam jual
beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga
setelah diskon, karena itu, diskon adalah hak nasabah.
c.
Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian
diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat
dalam akad.
d.
Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah
diperjanjikan dan ditandatangani.
4.
Fatwa DSN-MUI NO: 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.
Masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad
lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara angsuran, dalam praktiknya
terdapat nasabah yang mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayaran, baik
dalam akad jual beli maupun akad yang lain, pada waktu yang telah ditentukan
berdasarkan kesepakatan diantara kedua belah pihak dimana hal tersebut
merugikan pihak LKS. Adapun terkait dengan hal tersebut DSN-MUI telah
mengeluarkan Fatwa DSN-MUI NO: 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi atas Nasabah,
yang berisi ketentuan sebagai berikut:[16]
a.
Sanksi yang disebut dalam fatwa tersebut adalah sanksi yang
dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda
pembayaran dengan disengaja.
b.
Sedangkan terhadap nasabah yang tidak/belum mampu membayar
disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
c.
Terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh
dikenakan sanksi.
d.
Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar
nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
e.
Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya
ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
f.
Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana
sosial.
5.
Fatwa DSN-MUI NO: 23/DSN-MUI/III/2002 Tentang Potongan Pelunasan Dalam
Murabahah
Sistem pembayaran dalam akad murabahah pada Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) pada umumnya dilakukan secara cicilan dalam kurun waktu
yang telahdisepakati antara LKS dengan nasabah, dalam hal nasabah melakukan
pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah
disepakati, LKS sering diminta nasabah untuk memberikan potongan dari total
kewajiban pembayaran tersebut, untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut
menurut ajaran Islam, DSN-MUI telah menetapkan Fatwa DSN-MUI NO:
23/DSN-MUI/III/2002 Tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah. DSN-MUI dalam
fatwa tersebut membolehkan LKS untuk memberikan potongan dari kewajiban
pembayaran terhadap nasabah dalam transaksi murabahah yang melakukan pembayaran
tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, dengan syarat
tidak diperjanjikan dalam akad. Adapun besarnya potongan sebagaimana dimaksud
diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS.[17]
G. MURABAHAH DALAM KHES
KHES adalah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang keberadaannya
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. dalam konsideran Perma tersebut, KHES
dilahirkan untuk kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah sebagaimana dimaksud Pasal 49 huruf I beserta Penjelasan, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah.[18]
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Perma menyebutkan bahwa KHES digunakan oleh hakim
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sebagai pedoman dalam memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah.
Meskipun demikian, hakim tetap diberi keleluasan dan bertanggung jawab untuk
menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar
sebagaimana disebutkan Pasal 1 Ayat (2).
Berkaitan dengan murabahah, KHES memberikan pengertian murabahah sebagai
berikut:
Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang
dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi
jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan
pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Rusyd, Muhammad Ibn Ahmad Ibnu
Muhammad. Bidayatul Mujtihad wa
Nihayatul Muqtashid. Beirut:
Darul-Qalam. vol. II.
Karim, Adiwarman A. Bank
Islam:
Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Antonio, Muhammad
Syafii. Bank Syariah Dari
Teori Ke Praktik. Jakarta:
Tazkia, 2009.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah
Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009.
Usmani, Maulana Taqi. Islamic Finance:
Musharakah & Mudharabah,
www.darululoomkhi.edu.pk/fiqh/islamicfinance.html
Purnamasari, Irma Devita. Kiat-Kiat Cerdas,
Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.
Fatwa
dan Peraturan Perundangan:
Fatwa DSN-MUI NO:
04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
Fatwa DSN-MUI NO:
13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka Dalam Murabahah..
Fatwa DSN-MUI NO:
16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Diskon Dalam Murabahah.
Fatwa DSN-MUI NO:
17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran
Fatwa
DSN-MUI NO: 23/DSN-MUI/III/2002 Tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah.
[1] Muhammad Ibn Ahmad Ibnu
Muhammad Ibn Rusyd, (Beirut: Bidayatul Mujtihad wa Nihayatul Muqtashid
Darul-Qalam), vol. II, hlm. 216.
[2] Adiwarman A. Karim, Bank
Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, hlm. 113.
[3] Al-Qur’an: 4:29
[4] Al-Qur’an: 1:275
[6] Muhammad Syafii Antonio,
Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, hlm. 102.
[7] Adiwarman A. Karim, op.cit.,
hlm. 115.
[8] Lihat Adiwarman A.
Karim, op.cit., hlm. 116.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan
Syariah Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya, Hlm.178.
[10] ibid
[11]Maulana Taqi Usmani,
Islamic Finance: Musharakah & Mudharabah,
www.darululoomkhi.edu.pk/fiqh/islamicfinance.html
[12] Irma Devita Purnamasari,
Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah,
hlm.43.
[13] Lihat Fatwa DSN-MUI NO:
04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
[14] Lihat Fatwa DSN-MUI NO:
13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka Dalam Murabahah..
[15] Lihat Fatwa DSN-MUI NO:
16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Diskon Dalam Murabahah.
[16] Lihat Fatwa DSN-MUI NO:
17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran
[17] Lihat fatwa DSN-MUI NO:
23/DSN-MUI/III/2002 Tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
[18] Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah.
[19] Buku II
Tentang Akad Bab I Ketentuan Umum Pasal 20 Ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah.
Terimakasih banyak AKI karna melalui jalan togel ini saya sekarang sudah bisa melunasi semua hutang2 orang tua saya bahkan saya juga sudah punya warung makan sendiri hi itu semua berkat bantuan AKI JAYA yang telah membarikan angka 4D nya menang 275 jt kepada saya dan ALHAMDULILLAH berhasil,kini saya sangat bangga pada diri saya sendiri karna melalui jalan togel ini saya sudah bisa membahagiakan orang tua saya..jika anda ingin sukses seperti saya hubungi no hp O85-244-015-689 AKI JAYA,angka ritual AKI JAYA meman selalu tepat dan terbukti..silahkan anda buktikan sendiri. 2D 3D 4D 5D 6D
BalasHapus