Minggu, 29 Januari 2012
BERPOLIGAMI, PERLU IZIN?
Oleh: Hidayatulloh*
Jumat pagi (14/10/2011) secara tidak sengaja penulis menonton sebuah acara ceramah agama di sebuah stasiun televisi swasta. Sang penceramah menjelaskan kepada para hadirin di studio dan pemirsa di tanah air perihal suami yang hendak berpoligami. “Suami tidak perlu izin kepada sang istri bila ingin berpoligami, karena tidak diatur oleh agama”, begitu penjelasan sang penceramah.
Sebenarnya bukan kali ini saja ada penceramah yang menyampaikan materi tentang fikih munakahat di dalam acara-acara pengajian di televisi. Bahkan ada yang lebih fokus hingga menjadi wadah curahan hati kehidupan keluarga pemirsa yang suka mengikutinya. Pola pemikiran para penceramah pun cenderung beranekaragam, ada yang fikih oriented, dan ada pula yang sudah agak moderat.
Selesai mendengarkan penjelasan penceramah, penulis menjadi teringat akan masih adanya pemisahan antara hukum agama dan hukum negara. Maksudnya adalah hukum yang mengatur perihal syariat terutama yang berkaitan dengan Ahwal al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga) masih dianggap tercerai berai dalam berbagai macam kitab fikih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur akan keluarga, tidak dianggap sebagai bagian daripada hukum Islam yang berlaku bagi muslim di Indonesia.
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Pada dasarnya perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) berasakan monogami, yakni setiap laki-laki hanya memiliki satu orang istri. Namun ada peluang bagi laki-laki yang hendak memiliki lebih dari satu orang istri dengan aturan yang ketat. Pasal 4 ayat (2) menerangkan dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pengadilan hanya memberikan kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan. Demikian yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2).
Selanjutnya, untuk dapat mengajukan permohonan beristri lebih dari seorang, suami harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yakni adanya perjanjian dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Mengenai keharusan adanya persetujuan istri, terdapat dalam Pasal 41 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Sebelum memberikan putusan yakni berupa izin beristri lebih dari seorang, Pengadilan Agama memeriksa mengenai ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Bila persetujuan lisan, harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
Bila kita bandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang merupakan pedoman para hakim di Pengadilan Agama, sejatinya tidak berbeda dengan UU Perkawinan, keduanya sudah selaras dan sejalan dalam mengatur suami yang akan beristri lebih dari seorang. Bahkan KHI lebih tegas dalam hal persetujuan istri, walaupun sudah ada persetujuan tertulis, namun istri tetap wajib dihadirkan dalam persidangan dengan tujuan mempertegas persetujuan, hal ini diatur dalam Pasal 58 ayat (2).
Dalam hal perkawinan seorang suami dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin Pengadilan Agama, KHI lebih tegas dengan menyatakan perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 ayat (3).
ULAMA KONTEMPORER IKUT MENOLAK IZIN DALAM POLIGAMI
Penulis menelusuri pendapat ulama kontemporer tentang persoalan ini. Keinginan tersebut dilakukan karena kemunculan modernisasi hukum Islam terjadi pada masa globalisasi saat ini. Pendapat ulama yang hidup pada masa ini yang akan penulis tuangkan dalam tulisan ini, karena mereka yang lebih dapat dimintakan pendapatnya.
Sayid Sabiq, penulis Fiqh al-Sunnah berpendapat bahwa kewajiban seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang memohon izin ke Pengadilan adalah praktik yang buruk dan tidak memperhatikan ajaran Islam. Alasan kemaslahatan untuk menghindari efek dari akibat poligami tidak sehat sebagai landasan kewajiban suami memohon izin ke Pengadilan, menurutnya tidaklah tepat. Pencegahan yang baik adalah dengan memberikan pengajaran kepada muslim akan ajaran agamanya, bukan dengan melarang sesuatu yang telah Allah SWT halalkan. Dikiaskan dengan kebolehan makan dan minum sebagai sebuah kebutuhan manusia. Bila seseorang makan dan minum secara israf (berlebihan), lalu menimbulkan penyakit pada dirinya, cara yang baik adalah menghilangkan sifat berlebihan tersebut, bukan malah melarang makan dan minum. (Kairo: Dar al-Fath lil I‘lam al-Arabi, 2007).
Pendapat yang disampaikan oleh Sayid Sabiq adalah baik, yakni adanya upaya pencegahan dari perilaku poligami tidak sehat seorang suami dengan menanamkan ajaran Islam pada dirinya. Penulis menghargai pendapat beliau sebagai sebuah ilmu, namun ada kelemahan dari pendapat tersebut. Secara normatif, idealnya setiap laki-laki muslim wajib mengamalkan ajaran agamanya dengan baik. Begitu pula dalam sebuah perkawinan. Setiap pasangan suami istri wajib menjalankan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf. Apakah setiap orang akan menjalankan ajaran agama secara ideal? Jawabannya pasti tidak. Secara sosio kultural, dikaitkan dengan kehidupan muslim Indonesia, ketaatan akan ajaran agama tidaklah seragam. Oleh karena itu, adanya aturan yang ketat bagi suami yang ingin beristri lebih dari seorang bukan bertujuan mengharamkan yang halal, namun berupaya mencegah perilaku suami yang berniat menjalankan poligami yang bertujuan karena nafsu belaka, tanpa diiringi dengan kemampuan ekonomi, keadilan, dan kondisi sang istri. Dan aturan perundang-undangan pun memberikan pintu bagi suami yang mampu menjalankan poligami dengan tetap menjalankan tujuan perkawinan yang suci.
TIGA KELOMPOK UMAT ISLAM
UU Perkawinan sebagai aturan perundang-undangan bukanlah ajaran fikih semata. Sebagai aturan yang mengikat bagi warga negara Indonesia yang memiliki keanekaragaman pemeluk agama, undang-undang tersebut berbeda dengan fikih. Dengan demikian, aturan perkawinan mengakomodir semua kepentingan warga, baik muslim maupun non muslim.
Dalam menyikapi UU perkawinan, menurut Amir Syarifuddin dalam buku Meretas Kebekuan Ijtihad, umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Pertama, tidak mengakui UU Perkawinan itu sebagai aturan yang menggantikan hukum fikih. Mereka tetap menjalankan dan patuh pada hukum fikih. Jumlah mat Islam yang bersikap seperti ini masih banyak, terutama yang hidup di pedesaan. Kedua, mengakui UU Perkawinan sebagai undang-undang yang harus dipatuhi dalam kedudukannya sebagai warga Negara; dan dalam waktu yang sama sebagai orang yang beragama Islam tetap mengakui dan menjalankan aturan fikih. Sikap mereka tetap mendua. Mereka mengatakan: “Perkara ini sah menurut agama, meskipun menyimpang (tidak sesuai hukum) menurut ketentuan hukum negara.” Contoh praktis dalam hal ini, seorang suami yang menikah dengan istri kedua di depan penghulu dengan memenuhi syarat dan rukun sebagaimana dalam aturan fikih; namun tidak didaftar oleh Pegawai Pencatat Nikah yang ditetapkan negara. Perkawinan tersebut menurut mereka sah karena telah sesuai dengan ketentuan agama. Kelompok ini masih banyak pengikutnya, baik yang tinggal di pedesaan maupun yang tinggal di perkotaan.
Ketiga, bersikap dan menganggap UU Perkawinan sebagai undang-undang yang sah mengatur urusan perkawinan umat Islam di Indonesia. Bagi kelompok ini, UU Perkawinan sejauh yang mengatur perkawinan umat Islam adalah fikih munakahat dalam bentuknya yang baru dan diberlakukan di Indonesia. Fikih yang ada tetap diberlakukan sejauh yang tidak diatur dalam UU Perkawinan. Kelompok ini terdiri dari ulama dan pakar hukum Islam yang berpendirian baru dalam menghadapi fikih. Bagi mereka fikih dapat mengalami perkembangan sesuai dengan kultur dan kebutuhan masyarakat yang menjalankannya; dan UU Perkawinan adalah hukum fikih dalam bentuk perkembangannya yang terkini. Sehingga menurut mereka, perkawinan yang sah itu adalah yang telah sah menurut hukum agama dan hukum negara sekaligus. (Jakarta: Ciputat Press, 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemerintah tidak dapat membatasi materi ceramah dan penceramah itu sendiri pada acara-acara bersifat terbuka seperti pengajian di media televisi. Bila hal itu dilakukan, berarti sama saja dengan membangkitkan kembali semagat otoriter di masa orde baru yang membatasi kebebasan publik dan akan melanggar hak asasi manusia. Di sisi lain, materi ceramah yang tidak memiliki semangat UU Perkawinan akan menjadikan masyarakat penganut sikap pertama dan kedua sebagaimana disampaikan Amir Syarifuddin, merasa mendapatkan angin segar dan legitimasi dalam melakukan perkawinan tanpa mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi mereka sah-sah saja, selama tidak melanggar hukum agama yang berakibat dosa.
Hal demikian semakin mengganggu ketertiban hukum di masyarakat bilamana oknum-oknum suami menjadikan poligami hanya sebagai sarana pemuas nafsu belaka, tidak peduli akan nasib sang istri, pendidikan anak-anak, dan kesejahteraan keluarga. Adanya keyakinan bahwa hukum agama tidak memerintahkan ketaatan akan prosedur perkawinan di pengadilan, menjadi sebuah legitimasi yang kuat bagi laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
Harapan penulis kepada pemerintah agar selalu mensosialisasikan materi UU Perkawinan kepada masyarakat luas melalui media-media yang tersebar luas, baik cetak maupun elektronik. Begitu pula kepada ulama dan pakar hukum Islam yang masuk kategori kelompok ketiga, penulis berharap mereka menyebarkan dan menyampaikan pemahaman yang sesuai dengan semangat UU Perkawinan kepada masyarakat dalam bentuk tulisan di berbagai media, serta melalui ceramah di pengajian-pengajian dalam lingkup yang kecil maupun lingkup yang besar.
Di akhir tulisan ini, penulis berharap saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Segala kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan manusia selalu akan diliputi kekurangan dan kekhilafan.
*Penulis adalah mantan Ketua BEMJ Peradilan Agama, alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar