Pages

Minggu, 29 Januari 2012

PERWAKILAN DALAM AKAD PERKAWINAN


Setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, ia berhak mempercayakan urusannya kepada orang lain atau ia menunjuk orang lain untuk mewakilkannya dalam sebuah urusan, dengan syarat bahwa urusan yang ingin ia serahkan kepada wakilnya adalah urusan yang boleh diwakilkan, seperti dalam urusan jual beli.



Dalam fikih, perwakilan ini disebut dengan al-wakalah. Secara bahasa maknanya adalah al-hifzu (pemeliharaan) atau al-tafwid (pemberian kekuasaan). Sedangkan maknanya secara istilah menurut Hanafiyah adalah perkataan seseorang kepada orang lain untuk menggantikan posisinya dalam urusan yang boleh diwakilkan atau pemberian kekuasaan dan pemeliharaan kepada wakil. Menurut Syafi’iyah, maknanya adalah pemberian kekuasaan seseorang atas sebuah pekerjaan yang boleh diwakilkan yang ia tidak laksanakan kepada orang lain dalam hidupnya.





Rukun wakalah menurut Hanafiyah hanya dua, yakni ijab dan kabul. Ijab diucapkan pemberi kekuasaan dengan ucapan: “Aku menyerahkan urusan ini kepadamu.” Dan ungkapan kabul dari orang yang diberikan kekuasaan dengan mengucapkan: “Aku menerima.” Sedangkan menurut Jumhur Ulama, rukun wakalah ada empat, yakni orang yang memberikan kekuasaan, orang yang diberikan kekuasaan, urusan yang diserahkan, dan shigat.



Melakukan wakalah hukumnya adalah boleh. Didalamnya terdapat kebaikan bagi hubungan sesama manusia. Prinsipnya dalam hidup ini, setiap orang saling membutuhkan pertolongan orang lain. Di saat ia tidak mampu mengerjakan urusannya, ada kemudahan dengan cara memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk bertindak atas dirinya. Dengan demikian, tercipta rasa saling tolong menolong antara sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari.



Bagaimana dengan wakalah dalam perkawinan? Menurut Hanafiyah, sah mewakilkan dalam akad perkawinan dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan dengan orang lain, walaupun bukan walinya; dengan syarat pihak laki-laki dan pihak perempuan adalah al-kamil al-ahliyyah (memiliki kecakapan yang sempurna) yakni berakal, balig, dan merdeka. Kebolehan perempuan mewakilkan dirinya dalam akad perkawinan dengan selain walinya menurut Hanafiyah karena ia memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya. Hal demikian ini sesuai dengan kaidah fikih: kullu ma jaaza lil insan an yubasyirahu min al-tasharrufaat binafsihi, jaaza lahu an yuwakkila ghairuhu fiihi, idzaa kaana al-tasharrufu yaqbal al-niyabah.



Menurut Jumhur selain Hanafiyah, perempuan tidak boleh diwakilkan dalam akad perkawinan kecuali oleh walinya sendiri. Hal demikian karena perempuan tidak memiliki hak dalam pengesahan akad atas dirinya sendiri, makanya ia tidak memiliki kekuasaan untuk mewakilkan dirinya kepada selain walinya dalam akad perkawinan. Akan tetapi wali mujbir dapat memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk mewakilinya dalam akad perkawinan tanpa adanya izin pihak perempuan, sebagaimana wali mujbir dapat menikahkan si perempuan tanpa atas izinnya. Sedangkan untuk wali ghairu mujbir, menurut Syafi’iyah tidak boleh mengutus orang lain untuk menjadi wakil dirinya dalam akad perkawinan tanpa ada izin dari si perempuan.



Orang yang boleh menjadi wakil dalam akad perkawinan adalah laki-laki, balig, merdeka, Islam, tidak sedang dalam ihram haji maupun umrah, dan tidak lemah akal. Namun Malikiyah membolehkan orang Nasrani, hamba sahaya, perempuan, dan anak-anak yang sudah mumayyiz untuk menjadi wakil dalam akad perkawinan.



Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwasanya boleh calon pasangan laki-laki dan/atau calon pasangan perempuan diwakilkan oleh orang lain dalam sebuah akad perkawinan dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan. Apakah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam membolehkan akad perkawinan tanpa dihadiri salah satu atau kedua calon pasangan laki-laki dan perempuan? Apakah dapat diwakilkan oleh orang lain?



Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menerangkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam Bab II Syarat-syarat Perkawinan Pasal 6 ayat (1) menerangkan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan diterangkan dalam Bab III Tatacara Perkawinan dalam Pasal 10 ayat (2) bahwasanya tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.



Sekilas nampaknya tidak ada aturan yang detail mengenai boleh atau tidaknya kedua mempelai diwakili oleh orang lain dalam akad. Pada prinsipnya, aturan perundang-undangan tentang perkawinan menyerahkan tatacara pelaksanaan kepada hukum agama dan kepercayaan kedua mempelai. Namun dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 diterangkan sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Adanya pasal ini mengisyaratkan keharusan adanya kedua mempelai dalam akad perkawinan, karena mereka akan menandatangani akta perkawinan; tidak ada keterangan bahwa hal tersebut boleh diwakilkan oleh orang lain.



Lalu apakah Kompilasi Hukum Islam memberikan keterangan? Dalam Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan Pasal 14 menerangkan untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab dan kabul. Kemudian dalam Pasal 17 ayat (1) sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan saksi nikah. Dan dalam ayat (2), bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Berdasarkan keterangan diatas, kehadiran kedua calon mempelai dalam akad perkawinan sangatlah penting, karena keduanya akan ditanya secara langsung sehingga Pegawai Pencatat Nikah yakin akan persetujuan kedua mempelai.



Undang-Undang Perkawinan beserta aturan pelaksanaannya dan Kompilasi Hukum Islam memang tidak menerangkan boleh atau tidaknya kedua mempelai tidak hadir dalam akad perkawinan dengan diwakili oleh orang lain, namun dari beberapa pasal yang telah disebutkan diatas, semuanya menunjukkan bahwasanya kehadiran kedua mempelai dalam akad perkawinan adalah sangat penting.



Demikian kesimpulan yang dapat kami berikan. Adapun tulisan ini sarat dengan kesalahan dan kekhilafan. Kami sadari akan kekurangan kami. Kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kami dan pembaca yang memiliki perhatian terhadap perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

(Hidayatulloh, mantan Ketua BEMJ Peradilan Agama, alumni Fak Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, dan alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah)



Sumber bacaan:
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. (Suriah: Dar al-Fikr, t.t.)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar