Minggu, 29 Januari 2012
TOLERANSI BERHARI RAYA
Anda pasti masih ingat umat Islam Indonesia merayakan Idul Fitri selama empat kali di tahun 2007? Peristiwa ini cukup menghebohkan masyarakat. Kalangan tarekat Naqsyabandiyah di Padang dan al-Nazir di Gorontalo merayakannya pada hari Kamis, 11 Oktober 2007. Muhammadiyah dan sebagian warga NU merayakan pada hari Jum’at, 12 Oktober 2007. NU dan pemerintah menetapkan pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007. Terakhir, kalangan penganut tarekat Naqsyabandiyah di Jombang merayakan pada hari Ahad, 14 Oktober 2007.
Perayaan Idul Fitri di tahun 2011 pun mengulang kembali peristiwa di tahun 2007. Di mana beberapa ormas Islam menetapkan dan merayakan tanggal jatuhnya 1 Syawal yang berbeda. Lagi-lagi, perbedaan yang terjadi adalah disebabkan perbedaan dalam memahami nas. Adapun perbedaan seperti ini adalah masuk kategori khilafiah. Maka saat sidang isbat pada Senin pukul 19.00-20.00 WIB, kita saksikan suasana perdebatan tidak terlepas dari pemahaman terhadap teks ayat dan hadis.
Muhammadiyah telah menetapkan awal Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011. Sesuai dengan penghitungan yang dilakukan, ijtimak akhir Ramadan 1432 H berlangsung pada tanggal 29 Agustus 2011 pukul 10.04 WIB, pada saat itu kedudukan Bulan dan Matahari pada bujur ekiliptika yang sama. Pada saat itu, Bulan tidak tampak di langit, Bulan dekat dengan Matahari yang sangat terang. Pada saat matahari terbenam tanggal 29 Agustus 2011, di seluruh wilayah Indonesia tinggi Bulan antara satu sampai dua derajat. Bagi penganut kriteria Wujudul Hilal, yakni Muhammadiyah, kondisi tersebut sudah cukup sebagai tanda memasuki awal bulan Islam.
NU memiliki kriteria yang berbeda, yakni Imkanur Ru’yat dua derajat. Dikarenakan pada hari Senin, 29 Agustus 2011 ketinggian Bulan kurang dari ketetapan tersebut, maka dilakukan istikmal, yakni menggenapkan Ramadan selama tiga puluh hari. Ormas-ormas lain pun seperti Persis, al-Wasiliyah, dan PUI mengamini pendapat NU dan menyesuaikan dengan hasil pengamatan di puluhan lokasi tersebar di Indonesia yang mayoritas menyatakan Bulan belum kelihatan. LAPAN, Observatorium Boscha, dan Kemeninfo tidak ketinggalan aktif terlibat dalam proses penetapan dengan melakukan pengamatan di berbagai titik lokasi di wilayah Indonesia.
Menteri Agama RI menyampaikan empat kesimpulan sidang isbat malam itu. Pertama, akan ada upaya penyatuan kriteria penetapan bulan qamariyah. Kedua, perbedaan ada peluang untuk disatukan. Ketiga, mayoritas hasil rukyat menyetujui 1 Syawal 1432 H jatuh pada 31 Agustus 2011. Keempat, Muhammadiyah menetapkan 30 Agustus 2011 sebagai 1 Syawal 1432 H.
Berharap Pada Pemerintah Dan Tokoh Agama
Ada pertanyaan, apakah umat Islam Indonesia perlu belajar dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam? Pemerintah kedua Negara tersebut menetapkan Idul Fitri yang kemudian diikuti oleh seluruh warga muslim disana. Perlu diketahui, memang kedua negara tersebut memiliki sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap urusan agama, yakni dewan ulama. Oleh karena itu, semua putusan yang berkaitan dengan urusan agama akan seragam.
Idealnya Majelis Ulama Indonesia dapat menjadi sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap urusan agama. Dalam struktur kepengurusan pun, terutama dalam bidang fatwa, semua unsur ormas Islam Indonesia memiliki utusan masing-masing. Maka umat Islam berharap dalam urusan penetapan Idul Fitri akan lebih baik diatur oleh sebuah lembaga yang difasilitasi oleh pemerintah, karena memang urusan kapan jatuhnya 1 Syawal sebagai hari raya yang dinantikan banyak berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat secara luas.
Terulangnya kembali drama penetapan 1 Syawal yang berbeda pada tahun ini mengisyaratkan bahwa titik temu khilafiah antar umat Islam belum tercapai. Masih ada pekerjaan rumah besar pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dan tokoh-tokoh ormas Islam untuk terus berupaya mengedepankan persatuan, bukan perbedaan. Al-khuruj min al-khilaf mustahab, demikian sebuah kaidah fikih menegaskan keluar (menghindari) perbedaan pendapat itu disunatkan.
Belum tercapainya titik temu perbedaan dalam menentukan pergantian bulan Qamariah dapat terjadi akibat kurang seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan ini. Hal ini dapat dilihat bahwa terjadinya perbedaan bukan saat ini saja, namun sudah berlangsung bertahun-tahun. Dalam urusan ini perlu ada standar yang sama sebagaimana Suryadharma Ali sampaikan dalam sidang isbat di Jakarta. Oleh karena itu, upaya dialog harus terus dilakukan agar ke depan, umat Islam tidak lagi berpecah belah dalam hal merayakan Idul Fitri.
Butuh Kearifan Semua Pihak
Sejatinya umat Islam Indonesia menghendaki persamaan dalam merayakan Idul Fitri 1432 H. Gegap gempita suara takbir akan bergemuruh secara serempak di bumi nusantara. Namun tahun ini kita perlu sedikit lebih arif, pasalnya ada sebagian umat Islam Indonesia yang merayakan Idul Fitri tidak dalam waktu yang bersamaan. Mereka melakukannya lebih dulu satu hari dari yang sudah ditetapkan pemerintah dalam sidang isbat di Jakarta.
Tidak perlu ada yang kecewa atau bahkan saling menghujat. Perbedaan apapun yang terjadi di antara sesama umat Islam, apalagi ini adalah khilafiah semata. Ingat bahwa umat Islam adalah bersaudara, kita bagaikan satu tubuh, bila ada satu bagian yang sakit, maka semua ikut merasakannya juga. Dalam kondisi dan situasi seperti ini, mengedepankan ukhuwah adalah salah satu jalan terbaik untuk kebaikan bersama.
Semoga kita dapat saling menghargai adanya perbedaan, dengan tetap mengedepankan kasih sayang kepada sesama saudara seiman dan setanah air. Selamat hari raya Idul Fitri 1432 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Depok, 29 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar