Jembatan Nasional Suramadu |
Surabaya, 02/02/12. Saya teringat tiga belas tahun yang lalu saat menjadi utusan Olimpiade Ilmu Pengetahuan Sosial tingkat sekolah dasar di Kota Depok. Ada sebuah pertanyaan dewan juri saat cerdas cermat tentang rencana pembangunan sebuah proyek raksasa di negara Indonesia tercinta, yakni jembatan yang menghubungi antara kota Surabaya dengan pulau Madura. Wow, saat itu saya membayangkan sebuah jembatan gantung yang indah dan pastinya jadi kebanggaan anak bangsa.
Dua puluh Agustus tahun dua ribu tiga adalah tanggal dimulainya pembangunan Jembatan Nasional Suaramadu. Jembatan Nasional Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal), Indonesia. Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan terpanjang di Asia Tenggara ialah Bang Na Expressway di Thailand (54 km).
Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).
Jembatan ini diresmikan awal pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009[2]. Pembangunan jembatan ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah 4,5 triliun rupiah.
Kamu bangga gak dengan prestasi jembatan hebat ini? Selama ini kita selalu merendahkan kemampuan bangsa sendiri kan? Nah, kawan. Bagi kamu yang masih merendahkan kemampuan bangsa kita, saatnya rubah cara pandang kamu. Kita adalah bangsa yang besar. Negara kita memiliki banyak anak-anak generasi cerdas dan itu terbukti salah satunya adalah kesuksesan jembatan terpanjang di negara kita.
Sudah lama sejak diresmikannya Jembatan Nasional Suramadu tahun 2009 yang lalu, saya berkeinginan melihat kehebatannya secara langsung dengan mata kepala sendiri. Dua tahun sebuah penantian dicapai pada hari Kamis, 02 Februari 2012. Akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari jutaan pengunjung Suramadu. Malam itu adalah momentum yang tak terlupakan selama hayat dikandung badan.
Kami berangkat berlima ke Surabaya menggunakan mobil Avanza merah. Tiar, Sandi, Munif, Anas, Ifa, Novi, dan saya sendiri. Yang berperan sebagai supir adalah Papa Munif. Tokoh panutan kami di Cherry English Camp dalam hal jalan-jalan, maklum kan dia satu-satunya penghuni camp yang bisa menyetir mobil. Dia adalah imam perjalanan kami dan kami pastinya jadi makmum.
Hal yang paling mengesankan saat itu adalah saya bahagia melihat Ifa begitu senang dengan perjalanan malam itu. Waktu masih di Lamongan, dia mengeluh mual ingin muntah disebabkan melihat salah satu anggota perjalanan mabuk darat. Alhamdulillah, dia masih bisa menahan hingga akhir perjalanan kami. Bagi saya, malam itu adalah pertama kalinya saya melakukan perjalanan jauh dengan dia. Saya senang bila ia senang. Dia adalah inspirasi hidup saya selama hidup di Pare dan seterusnya. Sukses selalu untuknya.
"Berapa mas?" tanya Papa Munif ke petugas penjaga pos masuk Suramadu. "Tiga puluh ribu, mas." Kami semua terperanjat dengan harga yang cukup mahal. Bayangkan saja uang sejunlah tersebut ditambah lima ribu sudah cukup untuk mendaftar kursus program Grammar di Kresna. Apalagi bila dibelikan jus stawberri di Jus QITA, wah cukup untuk pembatal puasa Senin dan Kamis selama beberapa kali.
Kami cukup menikmati jembatan kokoh dan gagah perkasa. Namun ada hal yang kami sayangkan. Keindahan cahaya lampu tidak kami dapatkan. Sepanjang penelusuran kami hingga menyebrang sampai Madura, tidak ada satu pun lampu yang bercahaya. Begitu pula larangan berhenti di tengah jembatan membuat kami tidak dapat berhenti untuk menikmati keindahan Selat Madura di malam hari. Hmmm, agak sedikit kecewa sih.
Unfortunately, tidak ada satu pun yang membawa kamera digital. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Kamera handphone milik Sandi dengan kualitas rendah pun terpaksa dimanfaatkan. Beberapa kali Ifa menunjukkan aksi narsisnya dengan berfoto berkali-kali. Yang lain tidak mau ikutan. Maklum mereka sudah ngantuk, terutama Novi yang sudah tidak tahan ingin pulang.
Sungguh perjalanan yang dilakukan secara mendadak dapat lebih kami nikmati daripada perjalanan yang direncanakan secara matang. Pastinya kami semua bahagia pada malam itu. Rasa lelah, bosan, lapar, ngantuk terbayarkan dengan senyum kawan-kawan sebagai perwujudan rasa senang dan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar