Machica Mochtar, seorang penyanyi era tahun 1990 akhirnya dapat bernafas lega. Bagaimana tidak, usahanya memperjuangkan nasib masa depan anaknya berhasil ia laksanakan. Mantan isteri sirri almarhum Moerdiono, mantan Mensesneg ini menjadi pemohon uji materil terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.
Kisah perkawinan sirri antara Machica dan Moerdiono terjadi pada 20 Desember 1993. Dari hubungan mereka membuahkan seorang anak bernama M. Iqbal Ramadhan. Kelahiran sang buah hati tidak dikuti dengan pemenuhan hak-hak perdata seperti uang bulanan sebagai nafkah hidup dan biaya sekolah oleh sang ayah. Begitu pula keluarga Moerdiono menyatakan tidak mengakui Iqbal sebagai bagian dari keluarga mereka. Hal ini yang membuat Machica terpaksa memperkarakan hal ini ke meja hijau demi masa depan sang anak.
Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sebelum putusan MK menyatakan sebagai berikut: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Menurut pasal ini, Iqbal sebagai hasil dari perkawinan sirri, yang secara pasti tidak sah dan diakui oleh undang-undang, hanya memiliki hubungan perdata dengan Machica dan keluarganya. Sang ayah pun tidak dapat dituntut untuk memberikan nafkah baginya. Demikian kandungan hukum pasal tersebut.
MK telah mengelurkan terobosan hukum yang sungguh luar biasa dengan mengabulkan uji materi terhadap pasal tersebut. Putusan MK dengan Nomor
46/PUU-IX/2011 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan
didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Jumat, 17 Februari 2012 di Ruang
Sidang Pleno MK. Pasal tersebut berubah menjadi "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
Dalam pendapat mahkamah yang
dibacakan oleh hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, pokok permasalahan
hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai
makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”.
Secara alamiah, lanjut Fadlil, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil
tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena itu, papar Fadlil, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya.
“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan
laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak
terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala
berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat
dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki
tertentu. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan,
yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan
seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak
dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi
anak, ibu, dan bapak.,” papar Fadlil.
Berdasarkan uraian di atas, Fadlil menjelaskan hubungan anak dengan
seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya
hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan
hukum. “Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa
karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa
memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang
tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status
seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan,”terangnya.
Fadlil menjelaskan berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang
menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum.
“Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, ‘Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional)
yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,” jelasnya.
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengemukakan alasan berbeda (concuring opinion).
Dalam pendapatnya, Maria mengungkapkan potensi kerugian tersebut
dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Keberadaan Pasal tersebut menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki
hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko
dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak
dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak
harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan
(perkawinan) kedua orang tuanya.
Dengan lahirnya putusan ini, perempuan yang hamil akibat dari perkawinan sirri, kawin kontrak, perselingkuhan, dan kumpul kebo dapat menuntut hak perdata bagi dirinya dan anaknya. Mereka tidak lagi menanggung beban tanggung jawab sang anak sendirian, apalagi sering terjadi pihak laki-laki mengabaikan tanggung jawab dengan alasan sang anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya sesuai dengan undang-undang. Namun, bukan berarti undang-undang melegalkan perzinaan tetapi untuk mencegahnya. Putusan ini bertujuan memberikan shock terapy bagi laki-laki hidung belang dan buaya darat.
Putusan ini juga memberikan implikasi pemberian akta kelahiran bagi anak di luar perkawinan yang selama ini tidak berhak mendapatkannya. Mau tidak mau, pihak KUA harus menjalankan amar putusan MK tersebut. Akan tetapi, dalam pengeluaran akta kelahiran disyaratkan pihak pemohon wajib melampirkan buku nikah pihak bapak dan ibu. Lalu bagaimana dengan anak luar perkawinan yang dapat dipastikan kedua orang tuanya belum memiliki buku nikah?
Hidayatulloh, Lc., S.H.I.
Mantan Ketua BEMJ Peradilan Agama Periode 2010-2011 dan Alumni Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah Jakarta.
Sumber:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6504
Jawa Pos edisi Sabtu, 18 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar