Pages

Minggu, 25 Maret 2012

Lama di Pare, Kenapa Bahasa Inggris Saya Masih Segitu-gitu Aja?


Ada cerita dari seorang gadis berparas cantik dan bertubuh mungil, sebut saja namanya Bunga. Ia lulus sekolah menengah atas setahun yang lalu. Waktu menunggu seleksi masuk perguruan tinggi ia manfaatkan belajar bahasa Inggris di Pare. Dengan dukungan orang tua dan keluarga, akhirnya ia berangkat.

Sudah dua belas pekan Bunga belajar di Kampung Inggris. Sudah banyak pula tempat kursus yang ia jelajahi. Begitu pula, jutaan rupiah yang telah mengalir di rekeningnya dari kiriman orang tuanya dirumah sudah ia habiskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disini. Namun apa yang terjadi? Ia merasa belum menemukan kepuasan dalam belajar. Tidak ada peningkatan yang ia dapatkan.

Setelah penulis lakukan deep interview terhadap kasus yang menimpa Bunga, ternyata selama ini ia banyak menghabiskan waktunya di tempat kursus. Dalam satu periode saja, ia biasa mengikuti dua hingga tiga tempat kursus. Mulai pukul lima pagi hingga menjelang pukul sembilan malam, ia habiskan waktu berpindah dari satu tempat kursus ke kursus lainnya. Sungguh semangat sekali dia!

Lalu ada cerita menarik dari laki-laki putra petani asal Sidoarjo, sebut saja namanya Tomcat. Setelah tamat kuliah, ia ingin belajar bahasa Inggris. Pengalamannya gagal dalam seleksi pegawai perusahaan asing membuatnya semangat belajar untuk menutupi kekurangannya saat wawancara kerja menggunakan bahasa Inggris. Lalu ia berangkat dengan mengendarai vespa tua warisan almarhum kakeknya yang sangat ia cintai.

Seratus dua puluh hari berlalu. Tomcat sudah banyak mengikuti kursus, mulai dari kelas speaking, pronouncation, grammar, dan sebagainya. Bahkan hampir semua tempat kursus yang ada di Pare sudah ia rasakan. Hingga ia sampai bingung hendak mendaftar di tempat kursus mana lagi. Andaikata Wakapo dan Al-Amin pun membuka kelas bahasa Inggris, dapat dipastikan ia akan mendaftar. Namun disayangkan, masih saja kemampuan bahasa Inggrisnya jauh dari harapan. Salah siapa dong? Salah dia gitu? Salah gurunya atau salah teman-temannya?  

Pembaca yang budiman. Kasus yang menimpa Bunga dan Tomcat dapat menimpa diri kita. Mereka memiliki semangat dan harapan yang tinggi, namun ada tiga hal menurut penulis yang harus mereka lakukan. Pertama, review materi. Belajar tidak hanya dalam ruang kelas. Penulis ingat pesan kyai waktu mondok di Ponorogo, beliau bilang: “Apa yang kau dengar, lihat, dan rasakan adalah pendidikan”. Artinya ilmu bukan hanya di ruang kelas yang sangat terbatas. Seperti kasus Bunga, ia tidak memiliki waktu untuk mengulang pelajaran di kelas. Waktunya habis dari satu kursus ke kursus lainnya. Akhirnya semua materi yang ia dapatkan “masuk telinga kanan dan menguap begitu saja tak terolah baik dalam otak”. Sedangkan untuk kasus Tomcat, ia terlalu mengandalkan transfer ilmu dari guru. Ia enggan membaca dan mengulang apalagi mengembangkan materi yang telah disampaikan di kelas. Meskipun ia khatam semua kursus di Pare, ia tidak akan maksimal meningkatkan kualitas kemampuan bahasa Inggrisnya.

Kedua, practice. Seseorang dapat dikatakan mahir berbahasa jika memiliki kemampuan listening, speaking, reading, dan writing. Semua ilmu butuh praktik, apalagi bahasa asing. Ribuan kosakata yang sudah dihafal pun tidak akan bermanfaat bila tidak dapat digunakan dalam berbicara dan menulis. Bunga terlalu sibuk dengan kelas di kursus. Ia tidak punya waktu mempraktikan bahasa Inggrisnya dengan kawan-kawan di kamar atau berdiskusi tentang pelajaran apalagi untuk menuangkannya dalam tulisan. Untuk Tomcat, ia butuh banyak praktik dengan kawan-kawannya. Banyaknya kursus yang kita ikuti tidak akan menjamin keberhasilan bila tidak ditunjang dengan usaha menggunakan bahasa Inggris dalam kegiatan sehari-hari.

Ketiga, self study atau belajar secara mandiri. Sikap ini yang membedakan antara orang yang menjadikan belajar sebagai kewajiban dan kebutuhan. Tipe pertama menganggap belajar hanya sebagai hal wajib dilakukan misalnya demi mencapai sebuah pekerjaan tertentu atau bahkan gengsi  di lingkungan tempat tinggal dan tipe kedua menganggap belajar adalah kebutuhan penting dalam hidupnya agar mampu menghasilkan karya bermanfaat bagi lingkungannya. Bunga dan Tomcat harus punya semnagat self study. Belajar bukan menghabiskan usia dan menjelajahi semua kursus. Begitu pula tidak boleh merasa cukup dengan materi dari pengajar. Jadikan itu sebagai modal untuk dikembangkan. Buat target dan rencanakan waktu dalam belajar. Disiplin menjadi bagian penting dalam suksesnya self study. 


Tulisan ini saya persembahkan untuk kawan-kawan seperjuangan di Pare; Cherry English Camp, SMART ILC, dan LOGICO. Semoga mimpi kita datang kesini tercapai.

      

1 komentar: