Pages

Rabu, 07 Maret 2012

NEGARA DAN PENGELOLAAN ZAKAT



Oleh: Hidayatulloh*

Abstraks: Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi yang besar. Menurut data Population Reference Bureau, jumlah penduduknya menempati  urutan ke-4 di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Dari jumlah yang besar tersebut, mayoritas adalah penganut agama Islam. Sehingga cukup tepat bila negara beriklim tropis ini disebut sebagai kekuatan Islam di Asia dan bahkan dunia. Namun dibalik itu semua, Indonesia tidak pernah sama sekali mengklaim dirinya sebagai negara Islam. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki  keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indoensia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Walaupun demikian, negara ikut terlibat mengatur urusan umat Islam dan menjadikan ajarannya menjadi komponen penting dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah urusan zakat dengan amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Perlukah negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).

Kata Kunci: Pengelolaan Zakat, Negara, Kekuasaan  


HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Agama adalah ajaran yang diyakini dan dipraktikkan oleh masyarakat penganutnya. Agama dalam hal ini Islam, bukan hanya mengatur urusan ibadah yang bernuansa akhirat, namun juga mengatur hal-hal yang berkenaan dengan urusan dunia. Sehingga ketaatan seorang muslim kepada agamanya bukan hanya dalam aspek batin, tetapi juga aspek lahir.    
Dalam kajian Islam, istilah negara bisa bermakna daulah, khilafah, hukumah, imamah, dan kesultanan.[1] Istilah negara diterjemahkan dalam bahasa asing Staat (bahasa Belanda dan Jerman); State (bahasa Inggris). Para pemikir Barat memiliki definisi yang berbeda tentang negara. Kami tidak akan membahas pengertian negara secara detail, namun untuk terbentuknya sebuah negara harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Montevideo (Pan America) Convention on Rights and Duties of States of 1993 yakni a permanent population, a defined territory, a government, and a capacity to enter into relations with other states.[2]
Dalam kaitan hubungan agama dan negara, ada tiga pola yang terjadi. Pertama, hubungan integralistik. Negara dan agama memiliki hubungan yang kuat dan saling mengikat satu sama lain. Konstitusi negara dibuat berdasarkan ajaran suatu agama tertentu. Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik. Iran dan Arab Saudi menjadi contoh negara yang menganut pola seperti ini dengan ajaran Islam sebagai dasar konstitusi mereka. Kedua, hubungan sekularistik. Agama tidak memiliki peran dalam penyelenggaraan sebuah negara. Adanya ruang terpisah antara urusan agama dan negara. Turki menjadi salah satu negara yang menganut model seperti ini. Ketiga, hubungan simbiotik. Prinsipnya sebuah agama tertentu bukanlah menjadi dasar konstitusi negara, namun negara tidak sama sekali mengabaikan peran agama dalam penyelenggaraan negara. Begitu pula negara memiliki peran dalam mengatur urusan-urusan agama yang berkaitan dengan masyarakat. Pola ini mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dapat dikatakan bahwa ini adalah pola hubungan yang seimbang antara kedua tipe sebelumnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang menganut pola ini.[3]
Indonesia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Namun bukan berarti pula negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan urusan negara. Pancasila sebagai dasar negara menyatakan dalam sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa “menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain”, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Bung Hatta. Penafsiran Bung Hatta ini, apabila ditilik dari sudut Islam, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain identik dengan prinsip tauhid yang berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan, dan musyawarah.[4]
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara menyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini memberikan sebuah pernyataan bahwa negara memberikan kebebasan warganya untuk memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam hal ini negara tidak hanya berperan pasif dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya, namun berperan aktif mengatur penyelenggaraan urusan agama dengan tujuan kesejahteraan dan ketertiban umum.
Sejarah pun mencatat bagaimana negara terlibat dalam urusan umat Islam dengan mengeluarkan berbagai aturan perundang-undangan. Tahun 1970 misalnya dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor 7 Tahun 1970. Pasal 10 ayat (1), pasal 11 ayat (1) dan pasal 12 undang-undang tersebut menetapkan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan; a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Keberadaan peradilan agama yang mengatur urusan umat Islam diakui dengan undang-undang ini. Selanjutnya lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dua kali diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dan yang terakhir saat ini adalah amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
        
URGENSI NEGARA MENGATUR PENGELOLAAN ZAKAT
Zakat arti secara bahasa adalah tumbuh dan surplus. Sedangkan arti menurut istilah adalah bagian harta yang wajib dikeluarkan. Menurut Mazhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang telah mencapai nisab (batas tertentu) kepada para mustahik (orang yang berhak menerimanya) jika telah sempurna kepemilikannya dan mencapai haul (setahun) kecuali bagi pertambangan dan hasil pengolahan tanah. Menurut Mazhab Hanafi, zakat adalah mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan sesuai dengan nisab yang diatur kepada orang-orang tertentu yang telah ditentukan syariat dengan mengharap rida Allah. Sedangkan menurut Mazhab Syafii, zakat adalah istilah dari bagian harta dan badan yang dikeluarkan dengan mengharap rida Allah. Selanjutnya menurut Mazhab Hanbali, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta yang dimiliki untuk golongan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.[5]
Dalam sejarah Islam, pemungutan zakat serta pengaturan, pengelolaan dan pengawasannya dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad dibantu dengan para sahabat. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi regulator, operator, dan pengawasan zakat berada pada diri nabi sebagai pemimpin agama dan negara saat itu. Hal ini sesuai dengan konteks kalimat khuz dalam QS al-Taubah: 103 yang memerintahkan nabi dan para pemimpin setelahnya untuk memungut zakat, sehingga memunculkan makna perlunya kekuasaan dalam mengatur perkara zakat.[6]  
Bagi muslim Indonesia, zakat merupakan perkara ibadah yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Secara historis, sebelum pemerintah mengeluarkan aturan yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Zakat yang sekarang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat sudah melaksanakannya dan memanfaatkannya dalam upaya mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, sebagai dana pembangunan sarana dakwah, pendidikan, dan sosial. Begitu pula masyarakat telah membentuk lembaga amil di mesjid, pesantren, yayasan, bahkan yang profesional seperti Dompet Dhuafa, Al-Azhar Peduli Umat, Rumah Zakat, dan lain-lain.
Perlukah negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah, dan wakaf.
Amandemen Undang-Undang Pengelolaan Zakat memberikan payung hukum adanya sentralisasi lembaga zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama dan memiliki wewenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ yang dibentuk oleh masyarakat memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dibawah koordinasi dan pengawasan BAZNAS.
Peran pemerintah (regulator, operator, pengawas) dalam mengurus zakat justru dirasakan sebagai kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paling tidak ada berbagai pertimbangan logis dan realistis pentingnya negara mengintervensi dalam pengelolaan zakat.
Pertama, zakat membawa kekuatan imperatif (kewajiban) pemungutannya dapat dipaksakan. Negara yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaaan seperti halnya pajak, karena negara mempunyai kekuatan dengan perangkat pemerintahannya, dan didukung regulasi yang mengikat dana zakat akan mudah terkumpulkan, kemudian dapat menjadi bagian pendapatan negara seperti halnya pajak.
Kedua, besarnya jumlah potensi harta zakat yang belum tergali secara maksimal mengharuskan menjadi perhatian negara. Berdasarkan informasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali sebelum rapat bersama DPR tentang RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Sodaqoh di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin 28 Maret 2011, potensi zakat nasional bisa mencapai 100 triliun. Potensi itu belum bisa terealisasi hingga saat ini. Sebab, kesadaran masyarakat untuk membayar zakat masih rendah. Hingga saat ini baru tergarap Rp 1,5 triliun.[7]
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat jauh dari potensi yang sebenarnya. Potensi yang besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
Ketiga, agenda besar dihadapi negara hari ini adalah pengentasan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin/penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 30,01 juta atau 12,49 %.[8]
 Potensi zakat yang sangat besar dapat menjadi alternatif pengentasan kemiskinan. Pengggunaan dana APBN dan/atau APBD dirasakan belum cukup mengatasi tingginya angka kemiskinan di negara ini.
Keempat, keadilan menjadi bagian prinsip dasar kenegaraan. Persoalan keadilan dan kesejahteraan umum adalah persoalan struktural yang tidak mungkin terjangkau secara merata tanpa melibatkan negara.
Kelima, pengelolaan zakat oleh negara, dapat membangun jaringan kerja lebih terarah, semakin mudah berkoordinasi, komunikasi dan informasi dengan unit pengumpul zakat (LAZ), sehingga pengentasan kemiskinan semakin terarah, tepat guna dan tidak tumpang tindih dalam penyaluran dana zakat, kepastian dan mendisipilinkan muzakki (wajib zakat) membayar zakat ke lembaga semakin terjamin, sekaligus terbangun konsistensi lembaga pengelola zakat bisa terjaga terus menerus karena sudah ada sistem yang mengatur.
Keenam, pengelolaan zakat yang dilakukan negara dapat bersinergi dengan semangat otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Peran konkrit Pemerintah Daerah dalam mekanisme pengelolaan zakat dengan menfasilitasi pembentukan Lembaga Pengelolaan Zakat (LPZ) di daerah, menetapkan susunan organisasi LPZ sesuai masing-masing daerah, menempatkan aparatur Pemda sebagai pengurus BAZ, membantu biaya operasional LPZ daerah setiap tahun. Dana zakat yang terkumpul dari daerah didistribusikan kembali kepada daerahnya masing-masing.
Meskipun demikian, pengelolaan zakat sepenuhnya kepada negara memiliki kelemahan-kelemahan. Buruknya rantai birokrasi di pemerintahan ditambah dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat negara menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah sangat rendah.
Selanjutnya menurut Azyumardi Azra, secara historis, zakat selama berabad-abad telah dikelola masyarakat sendiri, entah itu melalui badan/lembaga amil zakat (LAZIS) yang ada pada setiap organisasi Islam, lewat amil ZIS yang ada di masjid-masjid dan lingkungan sekitar, serta juga lewat LSM filantropi Islam. Meskipun pengelolaannya sebagian besar masih konvensional, berkat ZIS itulah ormas-ormas Islam dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam, rumah sakit, klinik, dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional ormas-ormas tersebut, khususnya dengan dana infak, sedekah, hibah, dan seterusnya.[9] Sehingga pemerintah harus tetap memberikan peran bagi masyarakat sipil untuk terlibat aktif dalam hal pengelolaan zakat. LAZ yang sudah ada tidak boleh dimatikan kreativitasnya bahkan seharusnya didukung dengan regulasi yang baik demi kemaslahatan masyarakat.

PENUTUP
Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Dalam pengelolaannya, dibutuhkan peran negara sebagai pihak penguasa yang memiliki kekuatan imperatif kepada muzakki, sebagaimana terjadi pada masa nabi dan sahabat. Begitu pula negara memiliki akses jaringan yang luas dalam pemungutan maupun pendistribusiannya sehingga tujuan zakat dapat tercapai dengan baik.
Keraguan masyarakat akan kemampuan pemerintah sebagai regulator, operator, dan pengawas pengelolaan zakat dapat dihilangkan dengan adanya peran BAZNAS. Orang-orang yang menjadi pengurus di lembaga amil zakat nasional tersebut harus benar-benar cakap dan amanah. Meskipun ada campur tangan pemerintah, BAZNAS harus tetap profesional menjalankan tugas dan wewenangnya. 
Fungsi dan wewenang BAZNAS yang sangat besar tidak boleh memberangus dan memarjinalkan fungsi LAZ yang sudah ada, tetapi harus mengakomodir keberadaannya sekaligus menjadi mitra yang baik. Begitu pun sebaliknya, LAZ harus bersikap kooperatif dengan BAZNAS dan menjalankan tugas secara profesional.

Endnotes
*          Alumni Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences di Jakarta.
1.        Ni’matul Huda, 2010. Ilmu Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, h. 13.
2.        Huala Adolf, 1996. Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada, h. 2.
3.        Bahtiar Effendy, 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, h. 12.
4.        Ahmad Syafii Maarif, 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3S, h. 152.
5.        Wahbah Zuhaili, t.t. Al-Fiqh al-islami wa Adillatuh Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, h. 152-153.
6.        Redaksi ayat tersebut adalah:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا...
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”
Perintah mengambil zakat bukan hanya ditujukan kepada nabi semata, namun juga bagi pemimpin pengganti beliau. Dalam sejarah tercatat, bahwa Abu Bakr, khalifah pertama memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan menyatakan bahwa mereka adalah musuh pemerintahan saat itu.
Lihat Ibnu Katsir, 1999. Tafsir al-Quran al-Azhim Juz 4. Beirut: Dar al-Taibah, h. 207 dan al-Bukhari, 1987. Shahih al-Bukhari Juz 6. Beirut: Dar Ibnu Katsir, h. 2657, nomor hadis 6855.
8.        Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, 2011 dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=1
9.        Republika edisi 29 April 2010 diunduh dari www.republika.co.id

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar