Oleh:
Hidayatulloh*
Abstraks: Indonesia
adalah negara kepulauan dengan populasi yang besar. Menurut data Population
Reference Bureau, jumlah penduduknya menempati urutan ke-4 di dunia setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat. Dari jumlah yang besar tersebut, mayoritas adalah penganut
agama Islam. Sehingga cukup tepat bila negara beriklim tropis ini disebut
sebagai kekuatan Islam di Asia dan bahkan dunia. Namun dibalik itu semua,
Indonesia tidak pernah sama sekali mengklaim dirinya sebagai negara Islam. Sebagai
bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki
keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indoensia bukanlah negara berdasarkan
agama tertentu. Walaupun demikian, negara ikut terlibat mengatur urusan umat
Islam dan menjadikan ajarannya menjadi komponen penting dalam peraturan
perundang-undangan. Salah satunya adalah urusan zakat dengan amandemen
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat. Perlukah negara mengambil alih pengelolaan zakat?
Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya negara berperan
dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah sangat mengusik banyak lembaga
pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
Kata Kunci: Pengelolaan Zakat, Negara, Kekuasaan
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Agama adalah ajaran
yang diyakini dan dipraktikkan oleh masyarakat penganutnya. Agama dalam hal ini
Islam, bukan hanya mengatur urusan ibadah yang bernuansa akhirat, namun juga
mengatur hal-hal yang berkenaan dengan urusan dunia. Sehingga ketaatan seorang
muslim kepada agamanya bukan hanya dalam aspek batin, tetapi juga aspek lahir.
Dalam kajian
Islam, istilah negara bisa bermakna daulah, khilafah, hukumah,
imamah, dan kesultanan.[1] Istilah negara diterjemahkan dalam
bahasa asing Staat (bahasa Belanda dan Jerman); State (bahasa
Inggris). Para pemikir Barat memiliki definisi yang berbeda tentang negara. Kami
tidak akan membahas pengertian negara secara detail, namun untuk terbentuknya
sebuah negara harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Montevideo
(Pan America) Convention on Rights and
Duties of States of 1993 yakni a
permanent population, a defined territory, a government, and a capacity to
enter into relations with other states.[2]
Dalam kaitan
hubungan agama dan negara, ada tiga pola yang terjadi. Pertama, hubungan
integralistik. Negara dan agama memiliki hubungan yang kuat dan saling mengikat
satu sama lain. Konstitusi negara dibuat berdasarkan ajaran suatu agama
tertentu. Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah
politik. Iran dan Arab Saudi menjadi contoh negara yang menganut pola seperti
ini dengan ajaran Islam sebagai dasar konstitusi mereka. Kedua, hubungan
sekularistik. Agama tidak memiliki peran dalam penyelenggaraan sebuah negara.
Adanya ruang terpisah antara urusan agama dan negara. Turki menjadi salah satu
negara yang menganut model seperti ini. Ketiga, hubungan simbiotik. Prinsipnya
sebuah agama tertentu bukanlah menjadi dasar konstitusi negara, namun negara
tidak sama sekali mengabaikan peran agama dalam penyelenggaraan negara. Begitu pula
negara memiliki peran dalam mengatur urusan-urusan agama yang berkaitan dengan
masyarakat. Pola ini mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan
secara timbal balik dan saling memerlukan. Dapat dikatakan bahwa ini adalah pola
hubungan yang seimbang antara kedua tipe sebelumnya. Indonesia menjadi salah
satu negara yang menganut pola ini.[3]
Indonesia
bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Namun bukan berarti pula negara
sekuler yang memisahkan urusan agama dan urusan negara. Pancasila sebagai dasar
negara menyatakan dalam sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa “menjadi dasar
yang memimpin sila-sila yang lain”, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Bung
Hatta. Penafsiran Bung Hatta ini, apabila ditilik dari sudut Islam, maka sila
Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain identik dengan prinsip tauhid yang
berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan,
kebebasan, persaudaraan, dan musyawarah.[4]
Selanjutnya
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara menyatakan dalam Pasal 29
ayat (1) “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ayat (2) “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini memberikan
sebuah pernyataan bahwa negara memberikan kebebasan warganya untuk memeluk
suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam hal ini
negara tidak hanya berperan pasif dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya,
namun berperan aktif mengatur penyelenggaraan urusan agama dengan tujuan kesejahteraan
dan ketertiban umum.
Sejarah pun
mencatat bagaimana negara terlibat dalam urusan umat Islam dengan mengeluarkan berbagai
aturan perundang-undangan. Tahun 1970 misalnya dengan lahirnya Undang-Undang
Pokok Kehakiman Nomor 7 Tahun 1970. Pasal 10 ayat (1), pasal 11 ayat (1) dan
pasal 12 undang-undang tersebut menetapkan kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh pengadilan dalam lingkungan; a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c.
Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Keberadaan peradilan agama
yang mengatur urusan umat Islam diakui dengan undang-undang ini. Selanjutnya
lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 yang telah dua kali diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Surat Berharga Syariah Negara, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, dan yang terakhir saat ini adalah amandemen Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat.
URGENSI NEGARA MENGATUR PENGELOLAAN ZAKAT
Zakat arti
secara bahasa adalah tumbuh dan surplus. Sedangkan arti menurut istilah adalah bagian
harta yang wajib dikeluarkan. Menurut Mazhab Maliki, zakat adalah mengeluarkan
sebagian harta yang telah mencapai nisab (batas tertentu) kepada para mustahik
(orang yang berhak menerimanya) jika telah sempurna kepemilikannya dan mencapai
haul (setahun) kecuali bagi pertambangan dan hasil pengolahan tanah.
Menurut Mazhab Hanafi, zakat adalah mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan
sesuai dengan nisab yang diatur kepada orang-orang tertentu yang telah
ditentukan syariat dengan mengharap rida Allah. Sedangkan menurut Mazhab
Syafii, zakat adalah istilah dari bagian harta dan badan yang dikeluarkan
dengan mengharap rida Allah. Selanjutnya menurut Mazhab Hanbali, zakat adalah
harta yang wajib dikeluarkan dari sebagian harta yang dimiliki untuk golongan
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.[5]
Dalam sejarah Islam,
pemungutan zakat serta pengaturan, pengelolaan dan pengawasannya dipimpin
langsung oleh Nabi Muhammad dibantu dengan para sahabat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa fungsi regulator, operator, dan pengawasan zakat berada pada
diri nabi sebagai pemimpin agama dan negara saat itu. Hal ini sesuai dengan
konteks kalimat khuz dalam QS al-Taubah: 103 yang memerintahkan nabi dan
para pemimpin setelahnya untuk memungut zakat, sehingga memunculkan makna perlunya
kekuasaan dalam mengatur perkara zakat.[6]
Bagi muslim
Indonesia, zakat merupakan perkara ibadah yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan mereka. Secara historis, sebelum pemerintah mengeluarkan aturan yakni
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Zakat yang sekarang telah diamandemen
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat sudah melaksanakannya dan
memanfaatkannya dalam upaya mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan,
sebagai dana pembangunan sarana dakwah, pendidikan, dan sosial. Begitu pula
masyarakat telah membentuk lembaga amil di mesjid, pesantren, yayasan, bahkan
yang profesional seperti Dompet Dhuafa, Al-Azhar Peduli Umat, Rumah Zakat, dan
lain-lain.
Perlukah negara
mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa
jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat? Pertanyaan ini telah
sangat mengusik banyak lembaga pengumpul dan distribusi zakat serta infak, sedekah,
dan wakaf.
Amandemen
Undang-Undang Pengelolaan Zakat memberikan payung hukum adanya sentralisasi
lembaga zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS merupakan lembaga
pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Agama dan memiliki wewenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ yang dibentuk oleh masyarakat memiliki
tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dibawah koordinasi
dan pengawasan BAZNAS.
Peran
pemerintah (regulator, operator, pengawas)
dalam mengurus zakat justru dirasakan sebagai kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Paling tidak ada berbagai pertimbangan logis dan realistis pentingnya negara
mengintervensi dalam pengelolaan zakat.
Pertama, zakat membawa kekuatan imperatif (kewajiban)
pemungutannya dapat dipaksakan. Negara yang mempunyai otoritas untuk melakukan
pemaksaaan seperti halnya pajak, karena negara mempunyai kekuatan dengan
perangkat pemerintahannya, dan didukung regulasi yang mengikat dana zakat akan
mudah terkumpulkan, kemudian dapat menjadi bagian pendapatan negara seperti
halnya pajak.
Kedua, besarnya jumlah potensi harta zakat yang
belum tergali secara maksimal mengharuskan menjadi perhatian negara. Berdasarkan
informasi dari Menteri Agama Suryadharma Ali sebelum rapat bersama DPR
tentang RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Sodaqoh di Gedung DPR, Senayan,
Jakarta, pada Senin 28 Maret 2011, potensi zakat nasional bisa mencapai 100
triliun. Potensi itu belum bisa terealisasi hingga saat ini. Sebab, kesadaran
masyarakat untuk membayar zakat masih rendah. Hingga saat ini baru tergarap Rp
1,5 triliun.[7]
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil
dihimpun dari masyarakat jauh dari potensi yang sebenarnya. Potensi yang besar
itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh
negara melalui departemen teknis pelaksana.
Ketiga, agenda besar dihadapi negara hari ini adalah pengentasan
kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk
miskin/penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada tahun 2011
sebesar 30,01 juta atau 12,49 %.[8]
Potensi
zakat yang sangat besar dapat menjadi alternatif pengentasan kemiskinan. Pengggunaan
dana APBN dan/atau APBD dirasakan belum cukup mengatasi tingginya angka
kemiskinan di negara ini.
Keempat, keadilan menjadi bagian prinsip dasar
kenegaraan. Persoalan keadilan dan kesejahteraan umum adalah persoalan
struktural yang tidak mungkin terjangkau secara merata tanpa melibatkan negara.
Kelima, pengelolaan zakat oleh negara, dapat
membangun jaringan kerja lebih terarah, semakin mudah berkoordinasi, komunikasi
dan informasi dengan unit pengumpul zakat (LAZ), sehingga pengentasan
kemiskinan semakin terarah, tepat guna dan tidak tumpang tindih dalam
penyaluran dana zakat, kepastian dan mendisipilinkan muzakki (wajib
zakat) membayar zakat ke lembaga semakin terjamin, sekaligus terbangun
konsistensi lembaga pengelola zakat bisa terjaga terus menerus karena sudah ada
sistem yang mengatur.
Keenam, pengelolaan zakat yang dilakukan negara dapat
bersinergi dengan semangat otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat daerah. Peran konkrit Pemerintah Daerah dalam mekanisme pengelolaan
zakat dengan menfasilitasi pembentukan Lembaga Pengelolaan Zakat (LPZ) di
daerah, menetapkan susunan organisasi LPZ sesuai masing-masing daerah,
menempatkan aparatur Pemda sebagai pengurus BAZ, membantu biaya
operasional LPZ daerah setiap tahun. Dana zakat yang terkumpul dari daerah
didistribusikan kembali kepada daerahnya masing-masing.
Meskipun demikian, pengelolaan zakat sepenuhnya kepada negara
memiliki kelemahan-kelemahan. Buruknya rantai birokrasi di pemerintahan
ditambah dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat negara
menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah sangat rendah.
Selanjutnya menurut Azyumardi Azra, secara historis, zakat selama
berabad-abad telah dikelola masyarakat sendiri, entah itu melalui badan/lembaga
amil zakat (LAZIS) yang ada pada setiap organisasi Islam, lewat amil ZIS yang
ada di masjid-masjid dan lingkungan sekitar, serta juga lewat LSM filantropi
Islam. Meskipun pengelolaannya sebagian besar masih konvensional, berkat ZIS
itulah ormas-ormas Islam dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam,
rumah sakit, klinik, dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional
ormas-ormas tersebut, khususnya dengan dana infak, sedekah, hibah, dan
seterusnya.[9] Sehingga pemerintah harus tetap memberikan peran bagi masyarakat
sipil untuk terlibat aktif dalam hal pengelolaan zakat. LAZ yang sudah ada
tidak boleh dimatikan kreativitasnya bahkan seharusnya didukung dengan regulasi
yang baik demi kemaslahatan masyarakat.
PENUTUP
Zakat merupakan
pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan
masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Dalam pengelolaannya, dibutuhkan
peran negara sebagai pihak penguasa yang memiliki kekuatan imperatif kepada muzakki,
sebagaimana terjadi pada masa nabi dan sahabat. Begitu pula negara memiliki
akses jaringan yang luas dalam pemungutan maupun pendistribusiannya sehingga
tujuan zakat dapat tercapai dengan baik.
Keraguan
masyarakat akan kemampuan pemerintah sebagai regulator, operator, dan pengawas
pengelolaan zakat dapat dihilangkan dengan adanya peran BAZNAS. Orang-orang
yang menjadi pengurus di lembaga amil zakat nasional tersebut harus benar-benar
cakap dan amanah. Meskipun ada campur tangan pemerintah, BAZNAS harus tetap
profesional menjalankan tugas dan wewenangnya.
Fungsi dan
wewenang BAZNAS yang sangat besar tidak boleh memberangus dan memarjinalkan fungsi
LAZ yang sudah ada, tetapi harus mengakomodir keberadaannya sekaligus menjadi
mitra yang baik. Begitu pun sebaliknya, LAZ harus bersikap kooperatif dengan
BAZNAS dan menjalankan tugas secara profesional.
Endnotes
*
Alumni Program
Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences di Jakarta.
1.
Ni’matul Huda,
2010. Ilmu Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, h. 13.
2.
Huala Adolf,
1996. Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, h. 2.
3.
Bahtiar
Effendy, 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, h. 12.
4.
Ahmad Syafii
Maarif, 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante. Jakarta: LP3S, h. 152.
5.
Wahbah Zuhaili,
t.t. Al-Fiqh al-islami wa Adillatuh Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, h.
152-153.
6.
Redaksi ayat
tersebut adalah:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا...
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka…”
Perintah mengambil zakat bukan hanya ditujukan kepada nabi semata,
namun juga bagi pemimpin pengganti beliau. Dalam sejarah tercatat, bahwa Abu
Bakr, khalifah pertama memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan
menyatakan bahwa mereka adalah musuh pemerintahan saat itu.
Lihat Ibnu Katsir, 1999. Tafsir al-Quran al-Azhim Juz 4.
Beirut: Dar al-Taibah, h. 207 dan al-Bukhari, 1987. Shahih al-Bukhari
Juz 6. Beirut: Dar Ibnu Katsir, h. 2657, nomor hadis 6855.
7. Potensi Zakat
Nasional Mencapai Rp 100 Triliun dari http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149&catid=49%3Aartikel&Itemid=1
8.
Jumlah dan
Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1),
dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, 2011 dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1
9.
Republika edisi
29 April 2010 diunduh dari www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar